Friday, December 18, 2015

Cerita lain tentang pembalasan

“Eh, Nya, kemaren Aku liat David di Cafe Tengah. Bukannya itu tempat kesukaan Kita kalau kumpul kan ya?”
“David? Di CT? Oiya? Salah liat kali Ra.”
“Masa? Memang jauh sih duduknya dari tempat Aku duduk. Aku lagi rapat sih, jadi enggak bisa melipir liat lebih deket. Tapi mirip loh. Mirip banget”
“Muka Aku pasaran kali, Ra”

Rara dan Aku kaget ketika David datang tiba-tiba.

“Kamu tuh ya, ngagetin aja”, ucapku sambil mengelus dada.
“Kamu kaget Sayang? Aduh, maaf ya hehe”
“Pak Dono belum dateng, Ra?”
“Oh udah. Tapi tadi Dia Aku minta beliin batagor. Nah... itu dia.”
“OK. Bye Ra..”
“Bye Anya, bye David”
***
“Mbak Anya, kemarin Aku lihat Mas David loh.”
“Lah? Tempat kerja kaliankan satu daerah. Tentu aja Kamu liat Fi.”
“Eh, maksudnya Aku lihat Mas David lagi di toko. Kayaknya sama Adeknya. Soalnya manggilnya ‘Abang’. Tapi karena Aku lagi ngepak barang ya, jadi enggak bisa nyapa.”
David anak tunggal, dan kemaren Dia bilang keluar kota ketemu klien.
“Ya sudah ya Mbak Anya. Saya balik ke toko dulu. Nanti kalau ada buku baru, Saya kabarin. Kalau ada buku lagi yang mau Mbak Anya cari, kasih tau Saya ya. Nanti Saya carikan. Mari Mbak Anya”
“Siap Lefi, makasih ya.”

“Syg, gmn tugas luar kotanya? Lancar? Lefi bru ksini nganterin buku yg baru Aku psn.
Kmu jgn lupa mkn ya. Trus kpn plg?”
Aku harus konfirmasi ke David tentang siapa yang mengunjungiku. Itu sudah semacam peraturan tidak tertulis untuk Kami taati.
“Iya syg. Maaf ya, Aku gak bs ngehub kamu dulu. Bnyk bgt kerjaan Aku. Ini aja msih rapat.
Kmu jgn lupa mkn jg ya syg. Aku blum tau kpn plgnya. Nanti Aku kabarin lgi.”
David membalas pesan singkat yang Aku kirimkan padanya.
***
“ANYA!”
Rara melambaikan tangannya kepadaku.
Kami janjian makan siang bersama.
Rara dan Aku adalah teman ketika SMA.
Hanya sebatas kenal saja.
Ketika Aku bekerja dikantorku yang sekarang, Aku bertemu lagi dengan Rara di kantin kantor.
Kantor Kami satu gedung, tetapi beda perusahaan.
Jadi terkadang, jika David tidak bisa menjemput, Aku ikut pulang bareng Rara yang selalu dijemput oleh supirnya.
“Eh Nya. Ini serius ni ya. Kemarin Pak Dono, ketemu sama David di Warung Bakmi.”
“David? Di Warung Bakmi?”
“Iya. Pak Dono cerita. Kan Aku minta dibeliin Bakmi, terus pas Pak Dono kesana, ketemu sama David. Davidnya enggak ngeliat sih. Tapi Pak Dono yakin, itu David banget.”
“Enggak salah liat lagi kayak waktu Kamu itu?”
“Enggak kalau yang ini. Pak Dono itu supir kepercayaan, Nya. Enggak mungkin salah dan enggak mungkin bohong.”
“Yang bilang bohong siapa, Ra? Aku kan cuma bilang mungkin salah liat.”
“Soalnya..... David sama perempuan lain.”
“Kliennya David itu banyak yang perempuan. Dia selalu cerita kok ke Aku semua kliennya.”
Aku dengan santai menyuap Nasi Ayam yang kupesan.
“Hem.. Klien tapi kok suap-suapan?”
Kunyahanku terhenti.
“Suap-suapan?”
“Iya. Kata Pak Dono Mereka suap-suapan, Nya”
***
Di usiaku yang sekarang, sudah tidak cocok rasanya Aku mengamuk, menggalau seperti anak muda yang baru kemarin jadian dan deg-degan pasangan berselingkuh.
Kabar yang kudapat dari Rara kemarin, Aku telan begitu saja.
Aku berpacaran dengan David sudah hampir 9 tahun.
Aku sudah tau sifat jeleknya David. Dan tidak ada kata selingkuh di daftar itu.
Daripada Aku berdiam diri di rumah dan jadinya berprasangka buruk, di libur Sabtu ini, Aku memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan ke taman.

Sekitar 3 meter di depanku ada pasangan kekasih Aku menyebutnya, karena Mereka mesra. Terlihat sekali sang pria sangat menyayangi sang wanita dari gaya Mereka berjalan. Aku menyukai gaya pria ini.
Entah mengapa Aku tersenyum-senyum sendiri melihat pasangan ini. Mengingatkanku pada Aku dan David ketika Kami berjalan berdua.
Tidak berapa lama, Mereka berbelok masuk ke sebuah tempat makan.

Mataku tertarik begitu saja, hingga membuat Aku terhenti di jendela, mematung.
Itu... David....
Tanganku meraih telepon genggam dan mulai menghubungi David.
“Ya sayang?”
“Kamu, masih rapat?”
“Iya nih. Kita enggak bisa ketemuan kayaknya. Enggak apa-apa ya, sayang.”
“Di hari libur pun Kamu masih rapat? Tapi suaranya kok berisik?”
“Iya sayang, rapatnya kebetulan diluar. Kenapa?”
“Rapatnya cuma berdua sambil rangkulan gitu ya?”

Aku berdiri dihadapan David.
Aku menatap matanya dengan dalam.
Kurasa David tidak memiliki wajah yang pasaran.
Semua orang yang mengira bertemu dengan seseorang yang mirip David merupakan David sendiri.
Dan Aku yang masih selalu beranggapan David adalah orang yang sama sejak Aku mengenalnya hingga masuk ke 9 tahun Kami bersama.
“Anya..”
Aku tersenyum dan membalikan badanku.
David mengejarku.
“Anya, Aku bisa ngejelasin..”
Aku berbalik.
“Aku kasih Kamu waktu 5 menit untuk ngejelasin.”
“Ini enggak seperti yang Kamu pikir..~..”
“David, ini bukan di sinetron. Manfaatkan waktu 5 menit Kamu dengan baik.”
“Aku minta Kamu untuk dengerin penjelasan Aku dengan baik. Intinya ini enggak seperti yang Kamu bayang..~..”
“Aku enggak butuh basa-basi Kamu. Kita udah enggak remaja lagi. Jangan bertingkah seperti aktor.”
David terdiam.
“Sudah berapa lama Kamu berselingkuh?”, lanjutku.
“Aku enggak..~..”
“Berapa lama, David?”
“7 bulan lalu.”

Oh. Sejak sibuknya David ke luar kota dan hampir setiap akhir Minggu selalu ada rapat.

“Kalau Kamu memang benar ingin bersama orang lain, kenapa Kamu tetap mempertahankan hubungan Kita?”
“Tapi Aku cintanya sama Kamu, Anya.”
“Kalau Kamu cinta, kenapa Kamu berhianat?”
“Karena Aku....
Kamu tidak pernah cemburu dengan apapun yang Aku lakukan. Itu bikin Aku jadi ragu sama perasaan Kamu..”
“Sudah sekian lama, dan Kamu ragu?
Ternyata Kamu tidak setau itu tentang Aku, David.
Karena kalau Kamu tau, tidak akan muncul keraguan itu.
Kita putus." Kukembalikan cincin pertunangan pemberiannya.
“Tunggu, Anya.. Aku..~..”
“Dan tolong, jangan bertingkah seperti drama cinta televisi. Dunia peran bukan kemampuan Kamu. Kamu hanya akan mempermalukan diri Kamu sendiri. 5 menit Kamu udah habis”, lanjutku memelankan suaraku sambil berlalu pergi.
***
Sejak itu, David selalu berusaha merebut hatiku lagi. Bunga, coklat, makanan, pesan titipan, telepon, buku, benda-benda kesukaanku, merupakan pemandangan sehari-hari yang tidak ku balas.
Yang perlu Aku ambil, selebihnya Aku kasih siapa saja yang kutemui, pengantar koran, pengantar pos, pengantar paket, asisten rumah tanggaku, supir Rara, siapa saja. Ya, siapa saja.

Semuanya terhenti di bulan ke 3.
Tidak ada lagi pengantaran barang ke rumahku.
Kurasa David sudah lelah dengan pemberian yang tak berbalas.
Atau..... mungkin juga David sudah menemukan orang lain.
***
“Anya.. Anya.. Anya!!”
“Apa sih Ra.. Panggilnya sekali juga cukuplah”
“Ada gosip loh”
“Gosip apa lagi? Ada yang ngirimin surat cinta ke Kamu lagi?”
“Ih bukaaan. David. Denger-denger Dia diselingkuhin sama pacarnya yang baru. Total berarti ada 2 orang yang nyelingkuhin Dia.. Aku kasian deh soalnya..~..”

Aku sudah tidak mendengarkan opini Rara lagi.
Di otakku terputar sebuah lagu.

“And word in the street is that she did to you what you did to me”
...
...
...
how does it feel to swim in your own tears?”
...
...
...
“Bang! She shot you!
Karma taste so sweet”


_rdmw_

Inspired by Christina Perri’s song : Bang Bang Bang

*I love this song btw

Thursday, December 17, 2015

Go-jek pertama

Aloha Bubbly-Blog *kiss

 

Saya mau menceritakan pertama kalinya Saya menggunakan aplikasi Go-jek yang terkenal banget itu.

 

Jadi gini..

Awalnya Saya ada janji ketemuan di pasar baru (bulan lalu).

Sebenarnya, biasanya Saya ke pasar baru menggunakan bis kota.

Sesederhana itu.

Tapi, entahlah mengapa Saya tergoda menggunakan aplikasi ojek online tersebut.

 

Sesuai dengan aturan dan cara, Saya berhasil memesannya. Dan beberapa detik kemudian, ada yang menghubungi Saya untuk konfirmasi tempat penjemputan (Saya mengambil layanan go-ride, takut ada yang belum tau).

 

“5 menit lagi sampai ya Mbak, Saya sudah ada di Supratman”

Begitulah kata Mas Go-jek yang janjian dengan Saya.

 

Setelah menunggu beberapa menit di depan komplek, kemudian ada Mas-mas nyampeurin,

“Ojek Teh?”

 

Dari penglihatan Saya, Mas-mas ini masih muda. Dari mukanya, kisaran umur 20 sekianan (zaman sekarang wajah bisa menipu umur btw), rambut gondrong sedikit ikal, menggunakan kacamata dan kemeja kotak-kotak (kebetulan inget).

 

“Go-jek?”

“Iya, Teh”

Dikasihlah helm dan Saya naik.

 

“Otistanya dimana Teh?”

“Oh, bukan otista A, ke Pasar Baru. Memangnya petunjuknya ke otista ya?”

“Oooh. Iya Teh, alamatnya otista.”

 

Lalu Kami sempat berbincang sebentar. Eh, bukan berbincang sih ya. Dia yang cerita.

Mas-mas itu curhat tentang hujan (yang kebetulan waktu itu sudah masuk musim hujan).

Bukan nyalahin si hujannya sih. Tapi lebih ke nyeritain ada penumpang yang enggak mau kena hujan setetespun dan ada juga yang enggak mau kena panas sedikitpun.

Saya sih tidak menghakimi ya. Tapi kalau kata Saya, enggak mau kena panas mah jangan pake motor atulah (entah ojek atau sejenisnya).

 

Si masnya baik udah mau ngajakin Saya ngobrol.

Kadang ada juga yang memang enggak mau ngobrol sama sekali.

Kita memang orang asing sih.

Sama seperti Saya menggunakan aplikasi ini untuk kedua kalinya, yang kebetulan dihari yang sama untuk perjalanan pulang dari pasar baru.

Selama perjalanan si Masnya cuma tanya alamat yang dituju.

Lalu ketika sampai ditempat yang tidak terkena hujan sama sekali, Dia berkomentar, “Eh, disini mah naha enggak hujan?”

Baru deh Saya mulai basa-basi bahas hujan.

 

Dan sampailah Saya di tempat yang dituju. Walaupun beda tempat tapi masih satu daerahlah.

 

Bedanya Mas-mas Go-jek pertama tadi, lebih ramah, lebih berhati-hati, terus kasih alasan kenapa Dia milih jalan yang itu dibanding jalan lain.

Kalau Mas-mas yang kedua mungkin enggak seramah Mas-mas pertama (enggak basa-basi lah Dia), dan cepat sampai tapi masih tetap merasa nyaman. Maksudnya enggak grasak-grusuk-rusuh-enggakpuguh gitu.

 

Jadi, penilaian pertama Saya menggunakan aplikasi ini,

Menyenangkanlah ya..

 

Hal lain yang selalu Saya ingat di Mas-mas Go-jek pertama adalah,

Mas Go-jeknya habis keramas. Rambutnya wangi bangeeet  =D

 

Bandung, 17 Desember 2015

Salam,

Risma Dwi MW

Saturday, November 21, 2015

Cerita lain tentang teman masa kecil

“Mbak Mari, tunggu disini dulu ya, Saya ambil dulu uangnya.”
“Oke Bu.”
Baru saja Aku mengantarkan hasil jahitan Ibuku kepada Bu Sumi yang merupakan tetanggaku. Rumah Kami hanya beda blok saja.
Selagi menunggu, Aku melihat-lihat tanaman Bu Sumi.
Bu Sumi adalah seseorang yang ahli perihal tanam-menanam bunga. Walau pekarangan rumahnya kecil, tapi terlihat rapih dan tidak bosan untuk dipandang.
Dan ketika serius memerhatikan bunga kecil warna merah, Aku mendengar suara mobil yang dipanaskan.
Honda Jazz biru..

Itu.... Salim..

***

“MARI!”
“IYA BU, SEBENTAAAAR..”
“Masuk dulu nak.”
“Iya Bu. Terima kasih”
Ibu memanggilku ketika Aku selesai membungkus kado untuk sepupuku yang berulang tahun hari ini.
Aku mendengar Ibu berbincang dengan seorang lelaki.
Entahlah, suaranya seperti pemuda yang sebaya denganku.

“Ada apa Bu?”
“Nah! Ini dia orangnya. Mari, ingat dengan Salim?”
“Salim?”
Lelaki itu tersenyum.
“Aduh.. Nak Salim, maaf ya. Mari sudah lama tidak pulang. Dia lupa pasti”
“BU.. INI GULAINYA DIMATIIN JANGAN?”, Ayahku berteriak dari dapur.
“EH, TUNGGU DULU! Mari, temani Salim dulu ya.”
“Eh, Bu, tapi Aku..”
Dan kemudian di ruang tamu hanya tinggal Aku dan Salim.

Salim, rasanya nama itu ku kenal.

“Gimana dengan Sukabumi?”
“Sukabumi? Hem.. jadi suka banjir. Mungkin karena udah masuk musim hujan.
Hem.. Salim ya? Maaf. Akhir-akhir ini ingatan jangka panjangku kurang kuat.”
“Hahaha.. bukannya dari dulu ya?”
Aku terheran.
“Segitu enggak berartinya ya, sampai Kamu lupa tentang Kita?”
“Hah?! Tentang Kita?!”
Salim terlihat sekali menahan tawa.
Aku mulai memaksa otakku untuk berpikir dan mengingat tentang Salim.
Dan ketika Aku mulai menyerah, Salim tertawa.
“Maaf Mari, rasanya seneng bisa ngegodain Kamu lagi”
“Maaf Salim. Aku enggak inget Kamu siapa”
“Enggak apa-apa kok. Lagian dulu Aku cuma anak kecil laki-laki yang suka ngasih kamu es lilin coklat kalau Kamu lagi kesel”
Di regangkannya badannya sambil duduk.
“Sa..sa..??”

***

TK
“MARI! ADA SASA NIH!”
Aku berlari ke arah pintu.
“Sasa!”
“Aku udah bawa buku gambar sama krayonnya”
“Aduh Sasa, Kita kan hari ini mau ngegambarnya pake pensil warna”
“Pensil warna Aku ketinggalan di sekolah”
Aku enggak suka ngeliat Sasa sedih.
“Ya udah Sasa, jangan sedih. Aku pinjemin pensil warna Aku ya.”
“Makasih ya Mari”
“Iya”, Aku tersenyum lebar.

***

SD
Aku kesel hari ini. Mainan tanah liat Aku rusak. Walau katanya tidak sengaja dirusak, tapi tetep aja kesel. Aku enggak akan main sama Alina lagi. Dia jahat.
“Nih”
Es lilin cokelat.
“Jangan gitu mukanya. Aku enggak suka kalau ngeliat muka Mari gitu. Mendingan makan es lilin aja”
“Kenapa sih, setiap Aku kesel Kamu kasih Aku es lilin cokelat?”
“Karena Aku suka es lilin cokelat.”

***

SMP
“Aku harus ikut Mas Agus ke Sukabumi”, ucapku sambil menikmati es lilin cokelat yang ke dua.
Dia berhenti membuka tali sepatunya dan melihatku.
“Kenapa?”
“Mas Agus mau SMA disana. Sekalian nemenin Abah sama Ambu”
“Terus kenapa Kamu harus ikut?”
“Kalau Mas Agus bantuin Abah di peternakan, Aku nemenin Ambu di rumah.”
“Terus kapan Kamu berangkat?”
“Mas Agus nunggu apa dulu gitu, Aku enggak inget”
“Oh..”
“Cuma ‘Oh’ aja?”
Dan Sasa malah ngebahas tentang tugas sekolahnya.

***

“SASA! KAMU SASA!”
“Giliran Sasa Kamu inget, nama asli Aku Kamu enggak inget. Mari.. please lah.. Itu nama perempuan”
Mukanya langsung berubah.
Aku langsung memeluknya.
“Astaga Sasa! Aku minta maaf enggak inget. Astaga Sasa, Kamu kok bisa berubah gini?! Sasa! Kamu olahragawan sekarang?”
Aku memegang lengannya bagian atas.
“Mari.....”
Mukanya memperlihatkan kekesalan.
“Maaf Sasa. Maaf. Aku.. WAW! Aku enggak percaya. Terus Kamu mau ngapain kesini?”
“Loh?! Memangnya enggak boleh ketemu temen masa kecil?”
“Boleh lah! Astaga Sasa”
“Kamu tuh ya, Sasa-sasa terus. Salim, Mari. Salim”
“Pokoknya Kamu tetep Sasa buat Aku.”
“Setelah bertahun-tahun menghilang yang enggak pamitan, terus ketika dateng beberapa hari lalu, enggak ada keinginan untuk menghubungi Aku gitu?”
“Hahaha.. Maaf Sa, Aku ngurusin kepindahan Aku kuliah aja kemaren cukup ribet. Terus Aku lupa kalau Kamu masih hidup di komplek ini”
“Hidup di komplek ini? Hidup? Haa~aah”
Direbahkannya badannya.
“Segitu enggak pengen ketemu ya?”
“Astaga Sasa, kenapa Kamu berubah jadi mellow dan lebay gini sih? Baperan kayak anak zaman sekarang ya?”
“Bukan gitu sih. Tapi...”
“Tapi..?..”
“Mari.. Pacaran yuk?”
Salim menatapku dengan serius.
Aku tercengang.
“Hah?!”
“Aku serius.”
“Iya, Aku tau ketika orang sedang serius kayak apa. Tapi.. Sa? Kamu bercanda?”
“Aku serius, Mari. Kesempatan Aku ketemu lagi sama Kamu. Aku enggak mau basa-basi lagi. Enggak mungkin dulu setelah sekian lama dan Kamu enggak merasakan apapun ke Aku”
“Mungkin dulu iya. Tapi Salim, itu udah lama banget. Kamu temen kecil Aku, temen deket. Dan.. enggak mungkin deh kayaknya.”
“Apanya yang enggak mungkin? Aku punya perasaan sama Kamu, Mari. Kalau Kamu pun punya, Kita bisa jalanin kan?”
“Enggak bisa Sa”
“Kenapa enggak bisa? Karena Kamu udah enggak kenal Aku lagi? Aku enggak berubah Mari, Aku masih sama seperti Sasa yang dulu. Aku masih..~..”
“Aku udah tunangan Sa.”
Salim terdiam. Antara terkejut, sedih dan menyesal. Aku tidak bisa memaparkan yang terlihat di mukanya.
Salim melepaskan tanganku.
“Kamu terlambat Sa. Coba kalau Kamu datang setahun yang lalu. Mungkin..~..”
“Kalau terlambat, tidak ada kata mungkin, Mari. Maaf Aku mengganggumu. Mungkin sebaiknya Aku pulang ya.”
“Sa..”
“Kamu bahagia?”
“Aku..”
“Mari, Kamu bahagia?”
Aku menganggukkan kepalaku perlahan.
“Aku terlambat. Ini pelajaran ya. Sedikit sakit dan menyedihkan ya. Tapi, terima kasih sudah memberikan jawaban.”
“Maaf ya Sa...”
“Aku yang minta maaf. Kita enggak bisa berteman dekat lagi, Mari”
“Cuma karena Aku bertunangan, Kita enggak bisa temenan kayak dulu?”
“Terserah Kamu mau berpikiran apa tentang Aku. Tapi, dengan ngeliat Kamu dengan lelaki lain, dan yang Aku rasain ke Kamu, susah buat Aku ngilangin niat mengganggu hubungan Kamu.
Mending Aku pamitan. Pamitkan Aku juga kepada Ayah dan Ibumu ya.
Mari, satu hal yang harus Kamu tau. Aku menyukaimu sejak sebelum Aku mengenal rasa suka. Selamat tinggal Mari”
Aku melihat punggunggnya. Hal terakhir yang juga Aku lihat bertahun-tahun lalu ketika Aku akan berpetualang di Kota lain.

***

Salim akan masuk ke mobilnya sambil membawa tas gendongnya.
Walau berjarak 15 meter, tapi Kami sempat bertatapan. Dan kemudian dia membuka pintu mobilnya lalu mulai beranjak pergi.
Ya Salim, Aku tahu. Setelah Aku memberitahu tentang pertunanganku, Aku akan kehilanganmu. Kamu pikir Aku tidak tau perasaanmu ketika dulu. Maka dari itu Aku tidak mendatangimu. Jangan menyulitkanku untuk memilih. Karena tidak perlu ditanya siapa pilihanku.


_rdmw_

Wednesday, October 28, 2015

Cerita lain tentang pengenalan kembali

“Inget pertama kali kita ketemu?”
“Tiga tahun lalu. Disini. Kamu duduk di sebelah kanan Aku. Pakai baju hijau. Kaos berkerah. Di kerahnya ada noda saos dari bakwan yang Kamu makan. Rambut Kamu lagi panjang nutupin kuping. Apa lagi ya?”
Lengkap dan bahkan masih berpikir.
“Enggak usah selengkap itu juga kali haha”
“Aku takut lupa. Terus nanti Kamu kesel. Nanti ngejauhin Aku lagi”
“Tunggu, tunggu. Kapan Aku pernah ngejauhin Kamu?”
“Waktu Kita selesai Ujian kelas 2. Kamu udah enggak ada nungguin Aku lagi di tempat biasanya.”
“Ulfa, itu enggak ngejauh. Kamu kan sibuk dengan teman-teman baru Kamu. Dan Aku enggak bisa masuk dan menjadi bagian dari Kalian.”
“Irfan! Apa sih! Aku tuh enggak suka tiap Kamu bahas hal itu”
Dimonyongkannya bibirnya. Tanda sedang cemberut.
“Kamu kan populer. Beda sama Aku.”
“Kamu kenapa sih? Hari ini Kita lulus loh. Dan Kamu tetep jadi anti-sosial, untuk semua orang.”
“Kenapa? Mau ngebedain sama Kamu yang populer dan banyak temen?”
“Harus ya, bahasnya kesana lagi? Aku enggak paham populer dalam bayangan Kamu itu gimana”
“Yang banyak temen. Yang selalu dipanggil sana-sini tiap jalan. Kenal banyak orang. Apa lagi ya?”
“Mirip artis berarti ya?”
“Kan Kamu memang artis. Coba hitung berapa kali Kamu bantuin anak OSIS jadi mc tiap ada acara sekolah?”
“Salah memangnya kalau Aku bantuin Mereka?”
“Poin Aku bukan itu, Fa.”

Kami saling menatap dan terdiam beberapa saat.

“Kamu mau nerusin kemana habis ini?”
“Aku mau ikutan SNMPTN. Pengen coba hidup di kota lain.”
“Kamu ikut-ikutan ya?”
“Eh! Enak aja! Aku udah kepikiran dari tahun kemaren tauuu!”
“Memangnya Kamu mau ambil jur..~”
“ULFA!”
Ulfa melihat ke sumber suara.
Kemudian Ulfa melihatku. Seperti meminta izin meninggalkanku dan menghentikan pembicaraan ini.
Mau tidak mau, Aku harus mengangguk, semacam memperbolehkannya untuk pergi bersama teman-temannya.

“Bukan berarti Aku mau ninggalin Kamu ya. Aku udah punya janji. Kamu sendiri yang bilang kalau Aku..~”
“Harus nepatin janji. Iya, Aku inget. Udah sana.”
Ulfa melihatku dan berjalan sambil mengucapkan terima kasih tanpa suara.
“Sampai jumpa, Ulfa”, ucapku berbisik

***
“Bro, Lu dapet formulir organisasi kemahasiswaan enggak?”
“Iya dapet.”
“Lu udah nentuin mau masuk mana?”
“Belum sih”
“Gue diajakin masuk UKM Band. Lu ikut Gue aja gimana?”
“Ng...”
“Ya udah deh, Lu pikir-pikir dulu aja ya. Gue kesana dulu.”
Aku mengangguk.

Hilman, sudah ketiga kalinya mencoba berbasa-basi denganku.
Dan sudah yang ketiga kalinya pula Dia menyerah dan pergi meninggalkanku.
Biar sajalah orang menyebutku anti-sosial. Bersyukur tidak sepeduli itu dengan omongan orang.
Dengan sifatku yang begini sejak kecil, sulit mendapatkan teman mengobrol. Bahkan sampai hari ini, dimana Aku akan memulai menjadi seorang mahasiswa setelah bolos setahun.

“Selamat datang teman-teman baru calon mahasiswa dan calon mahasiswi. Gimana kabar hari ini? Siap berkenalan yaaa.. Kami dari Paduan Suara Mahasiswa. Perkenalkan nama Aku...~”

Suara itu menggangguku. Bukan menggangguku karena berisik. Tapi mengganggu kenanganku. Itu suara....

“..~Ulfa. Teman-teman bisa panggil Aku Kak Ulfa ya.”

Setahun sudah. Ketika Aku mencoba untuk hidup di kota yang baru dan menghilang dari hidupnya, bayangannya pun bahkan tidak mengizinkanku untuk melupakannya.
Ulfa tidak berubah. Tetap menjadi penyebab pandangan mata banyak pihak.
Dengan raut muka manis yang menyenangkan dan ramah.
Tidak cantik pada umumnya perempuan. Tapi ada yang menarik yang membuatnya bisa mendapat teman baru dengan mudah.

“Siapa disini yang mau masuk UKM PSM? Ayo diacungkan tangannya. Eh, kedepan aja deh kedepan”
Aku dan sekitar 11 orang lainnya maju kedepan.
Penempatan tidak sengaja dibagian paling ujung membuatku sedikit tertutupi oleh yang lain.

“Yang terakhir nih. Namanya sia...~”
“Salam kenal, Kak Ulfa..”
Aku memotong kalimatnya. Ulfa tampak kaget melihatku.
Ada diam sejenak yang tercipta.
“Kamu tetep enggak berubah ya”, bisikku pelan.
“Hai Irfan. Salam kenal. Aku Ulfa”
Dijulurkannya tangannya dengan senyuman. Mengajak berkenalan. Persis seperti empat tahun lalu.

_rdmw_

*UKM = Unit Keorganisasian Mahasiswa

Tuesday, October 27, 2015

Taman Bunga Begonia, Lembang - Bandung

Selamat hari selasa, Bubbly-blog.

Saya mau menceritakan yang terjadi di hari selasa yang menyenangkan ini.

Setelah bertukar cerita dengan Adik, Kami memutuskan untuk menghabiskan awal hari di.....

“Taman Bunga Begonia, Lembang-Bandung”

Perjalanannya.....
Sesungguhnya kalau dari arah Ledeng yang lewat Lembang perjalanan akan menyenangkan.
Tapi..
Kami memutuskan lewat dari arah Dago.

Saya ceritakan sedikit perjalanannya (Eh, konsen sesungguhnya menceritakan perjalanannya sih hahaha)
Melewati jalan yang pertama dilalui sungguh sulit.
Kami seperti benar-benar melewati bukit, naik dan turunnya beneran curam.
Saya sampai harus turun motor dua kali.
Catat ya, dua kali haha..
Berhenti dulu dua kali juga.

Semacam naik gunung yang tidak direncanakan hahaha

Hampir saja menyerah karena rintangan jalan terakhir cukup curam.
Tapi, terbayarkan.


Sehubungan Kami sudah memperkirakan seperti apa (dari info temennya si Adik), ternyata ketika sampai sana melebihi ekspektasi.

Tempatnya tidak seluas Kebun Raya Bogor juga sih, lebih kecil dari Lapangan Gasibu atau Lapangan Saparua juga, tapi dari bayangan Kami, ternyata lebih luas.



                       Saya suka bunga ini, seperti di timpa salju (walau belum pernah liat salju sih haha)





Mungkin karena ini hari biasa, jadinya tidak ramai.
Foto-foto cuma rebutan sama (satu bis) wisatawan Kota lain dan dua penghuni mobil aja.

Pokoknya #tujuhriburupiahyangmenyenangkan ;)
Secara udah dua kali turun motor, bukan tandingan lagi kan =))

Selasa baik, Bubbly-Blog.
Yang suka bunga-bungaan dan taman bunga bisa loh kesana.
Jalannya? Cari aja di Google Maps atau aplikasi Waze, tapi disarankan lewat rute yang dari arah Ledeng ya.

Biaya masuknya murah kok,
Hari biasa #tujuhriburupiah aja,
Hari libur #sepuluhriburupiah aja.

Yuk, ke taman bunga Begonia ;D

nah ini bentukan Bunga Begonia

#tujuhriburupiahyangmenyenangkan

Bandung, 27 Oktober 2015
Salam,
Risma Dwi MW
Oiya, selamat hari Blog juga ya Bubbly-Blog.
Luv ya ;*








Thursday, October 15, 2015

Dibalik maskot..

Selamat Oktober Bubbly-Blog.. (setelah masuk setengah bulan hehe)
Miss me? Yuuhuu~

Kali ini Saya akan membagi cerita tentang maskot.
Tau maskot kan?
Kalau berdasar kamus bahasa Indonesia,
Maskot : sesuatu barang, orang, atau benda yang dianggap oleh sekelompok masyarakat sebagai pembawa keberuntungan.

Kalau di kamus sih begitu.
Tapi pada kenyataannya enggak semua tau artinya apa.
Saya sih bukan mau komentar tentang berapa banyak orang yang tau pengertian maskot, bukan juga mau melakukan penelitian tentang maskot.

Dimulai dari....

Beberapa waktu yang lalu, Saya membantu beberapa pihak untuk mengoordinir para pemakai maskot, atau anak-anak kecil menyebutnya badut dan boneka.
Dulu, tidak pernah sekalipun terpikir sesulit apa para pemakai maskot itu.
Bukan hanya sekedar yang menggunakan kostum atau pakaian saja ya. Tapi yang satu badan dan kepalanya ketutup itu loh.

Nih ya, Saya kasih tau yang terjadi ketika menggunakan kostum itu :
1.       Panas, pengap, gerah, atau terserah mau disebut apa. Kebayang kan, seluruh badan di keukeup gitu
2.       Berkeringat. Ketika gerah pasti berkeringat kan. Bayangin deh keringetan dan enggak bisa menghapus peluh itu..... enggak enak. Keringat ngucur sebadan, bahkan ada yang sampai masuk mulut karena enggak bisa dilap.
3.       Capek. Jelas. Karena salah satu kerjaannya adalah jalan terus enggak bisa duduk.
4.       Sesudahnya, baju akan basah. Seperti habis mandi, tapi menggunakan baju dan bukan air bersih.
5.       Harus hati-hati liat jalan karena jarak pandang yang terbatas.

Bukan Saya sih yang menggunakan kostum itu, hanya saja Saya mendengarkan dari mereka-mereka yang memakainya.
Kemarin hanya dua hari... eh, enggak boleh loh bilang ‘hanya’, soalnya itu susah dan berat!

Ternyata dibalik kostum yang suka dilihat diluar sana, baik dipinggir jalan, ketika ada acara-acara, atau acara dua hari kemarin pun, ada masalah yang enggak banyak orang tau.
Dari mulai siapa pemakai kostumnya, mengganti pakaian biasa ke kostum, kalau si pemakai kostum haus gimana, jam pergantian waktu untuk kostum, pengaturan waktu lama kostum diluar (biar pengguna kostum bisa istirahat), mengatur yang mengawasi pemakai kostum agar lebih memudahkan kostum untuk bergerak, dan lain-lain.

Kalau misalnya ada yang bilang, “apa susahnya ngurus maskot doang?”
Coba aja deh, ngurusin maskot =’)

Dan Saya salut dengan para pemakai maskot ataupun kostum badut-badutan lainnya..
Kalian keren!
Kerennya pake BANGET.
BANGETnya pake capslock.




Nb : dan enggak semua orang tau, ternyata ada loh pengguna maskot yang berparas kece ;)

Bandung, 15 Oktober 2015
Salam,
Risma Dwi MW



Thursday, October 1, 2015

Tentang kepedulian

“Aku seneng ih ngeliat teteh. Soalnya selalu dateng tiap ada acara. Kadang sampai selesai. Aku pengen jadi kayak teteh, yang masih peduli.”

Beberapa waktu lalu, ketika Saya menghadiri sebuah acara, ada adik kelas Saya yang berujar demikian.

 

Dear You..

Bukan berarti Saya yang selalu bisa hadir, selalu bisa ditanya, dianggap bahwa Saya adalah yang paling peduli.

Tidak.

Diluar sana, orang-orang yang tidak Kalian kenal secara dekat, atau bahkan mungkin Kalian belum pernah bertemu, memperlihatkan kepeduliannya dengan cara yang tidak Kalian tau.

 

Tidak selamanya yang tidak terlihat tidak peduli dan tidak baik.

Untuk semua hal sih.

Bukan hanya sekedar tentang kegiatan organisasi.

 

Untuk teman-teman yang baru bergabung di Keluarga Mahasiswa STIE EKUITAS, khususnya rekan-rekan HMA, Saya, perwakilan dari Kakak-kakak kelas mengucapkan selamat datang dan selamat bergabung.

Jangan lupa kekompakannya dijaga.

 

Sampai bertemu dilain kesempatan.

 

Bandung, 1 Oktober 2015

Salam,

Risma Dwi MW

Monday, September 21, 2015

Cerita lain tentang kelompok

Pagi ini Aku sudah bangun dari jam 5. Aku akan akan bertemu dengan teman-temanku di lapangan itu. Enggak sabar rasanya.

“Aduh, Fani mana ya?”, Aku melihat sekelilingku.
“Kira!”
“Ih! Kalian lama deh! Aku kesel nungguinnya”
“Iya, maaf. Tadi kita janjiannya di depan. Nungguin Rosa dulu”
“Kok enggak janjian sama Aku juga sih? Kalian janjian berdua aja, nanti kalau kepisah Kita gimana?” 
“Iya ya, jangan sampai pisah Kita ya”

Hari ini ada kegiatan diluar sekolah. Aku dan dua teman baikku ikut kegiatan ini karena disuruh guru.
“Ih rame banget ya”
“Kalian mau masuk divisi apa?”
“Ada acara, ada humas, ada konsumsi, ada pubdok, apa lagi ya... Kita apa nih?”
“Gimana kalau acara? Nanti kita bisa dikenal gitu. Kan biasanya acara jadi mc ya”
“Iya, Kita bisa terkenal gitu, nanti di keceng. Lumayan kan”
“Atau mau pubdok? Biar gampang. Enak juga kan?”
“Udah ah, acara aja.”
“Ya udah, yuk”

‘Untuk teman-teman yang baru datang, silahkan berkumpul dulu dilapangan ya. Terima kasih’
“Baris ayo baris”
“Eh, jangan depan banget ya”
“Kenapa?”
“Enggak mau ah”
“Disini aja, udah disini.”

‘Untuk bagian belakang tolong yang depannya diisi dulu ya. Yang kosong ini masih ada”
“Disini aja Kak”
‘Ayo dong, yang depan diisi dulu biar keliatannya rapih. Ayo Adik-adik’
“Kedepan ini teh? Iya Kak”
Aku ogah sebenarnya ikutan barisan depan. Ini memang enggak depan banget sih, tapi tetap aja bikin kesal.

‘Nah, teman-teman, Kita berhitung ya, dari satu sampai delapan. Setelah delapan, nanti kembali lagi ke satu dan seterusnya. Mulai dari ujung kiri.. Mengerti ya?’
‘1’
‘2’
‘3’
‘4’
.....

‘Sudah semua ya? Silahkan kumpul ke meja sebelah kanan sesuai dengan nomor kalian tadi ya’
“Ngapain ya Kak?”
‘Kita bagi divisi berdasar nomor ya.”
“Ih kok kepisah-pisah gitu Kak?”
“Enggak mau ah enggak mau”
“Biar enak kerjanya sama yang Kita kenal dong Kak”
‘Gini ya teman-teman, Kita kan nanti kerjanya sampai beberapa bulan ke depan. Dan Kita satu kepanitiaan. Jadi biar kenal satu sama lain, harus kenalan’

Aku merengut. Kesalnya. Tahu gitu kan tadi diitung dulu biar bisa barengan sama Fani sama Rosa.
Lagian ngapain sih, harus dipisah-pisah gini?!

‘Ayo dong teman-teman, biar cepat selesai. Biar acaranya bisa di mulai.’
‘Ayo teman-teman, tak kenal maka tak sayang loh.’

“Memang enggak mau sayang-sayangan kok!”, teriakku dalam hati.

‘Ayo, yang kelompok 7 disini.. Disini.. Kita divisi konsumsi loh.. Makan yuk, yang mau makan..’

Kakak-kakak itu percuma teriak-teriak makanan. Kalau Aku enggak sama teman-teman Aku, percuma!

“Kelompok tujuh?”
“Iya”
“Kenalin, Ibra”
“Kira”
“Kira dari mana? Kalau Ibra dari SMA 40”
“Aku dari SMA 28”
“Oooh.. Kira sendiri?”
“Enggak. Tadi sama teman-teman, cuma kepisah. Kalau Kamu sendiri?”
“Perwakilan sekolahnya ada 5, tapi Kita kepisah-pisah semua”
“Ih. Kesel ya, pakai acara dipisah-pisah? Kan enggak bisa barengan sama teman-teman”
“Iya sih. Tapi kan Kita disini bisa kenal sama teman-teman baru. Yang beda sekolah, beda tempat. Asyik deh pasti.”
“Tapi Aku enggak ada yang kenal.”
“Kan Kira udah kenalan sama Ibra. Mari Kita berteman, biar Kira enggak ngerasa sendiri lagi. Yuk, gabung sama teman-teman baru yang lainnya”
‘Untuk teman-teman yang sudah kumpul, silahkan isi data dirinya ya. Perkenalkan Saya..~’

“Kira!”
“Rosa! Kamu jadi divisi apa?”
“Aku sama Fani satu kelompok. Kita divisi humas. Kamu?”
“Aku divisi konsumsi”
“Kita enggak sekelompok deh jadinya”
“Terus id card-nya dibagiin minggu depan pula. Padahal kan mau di foto, terus masukin instagram sama path. Biar gaya”
Sebetulnya Aku enggak dengerin apa yang Fani bilang. Aku masih terngiang omongan Kakak yang tadi, tak kenal maka tak sayang.

_rdmw_

Thursday, September 17, 2015

Cerita lain tentang mengajar

“Selamat pagi, Anak-anak..”
“Pagi Paaaak...”
Semangat. Itulah setiap pagi yang harus Aku tumbuhkan. Agar anak didik yang kuajari juga ditulari oleh semangat.
“Gimana sama liburannya? Ada cerita yang bisa Bapak dengarkan tidak?”
“Aku..”
“Aku aja Pak..”
“Aku mau cerita..”
“Tenang, tenang. Satu-satu ya. Coba mulai dari depan dulu. Ayo, Dita. Kamu ada cerita?”
“Ada, Pak guru! Aku mau cerita tentang kolam pancing Kakek. Jadi kan kemaren Aku..~”

Dita. Salah satu murid kesukaanku. Dia selalu semangat. Dan mampu menularkan keceriaannya kepada teman-teman sekelasnya.
Anaknya manis dan sopan. Ajaran kedua orang tuanya.
Kebetulan Aku kenal. Mereka teman kampusku dulu.
“Gitu Pak.. Jadi, Aku kayaknya liburan nanti mau kesana lagi.”
Dita tertawa.
“Wah.. Bisa-bisa Kamu nanti jadi pemancing handal ya. Kita kasih tepuk tangan untuk Dita.”
Ruangan ini kembali riuh.
Dita kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum bangga, seperti telah memenangkan sesuatu.

“Berikutnya... Toni.. Sudah siap? Ayo ke depan, ceritakan kepada teman-teman semua.”
Toni mengangguk dan mulai berjalan ke depan kelas dengan malu-malu.
“Ng.. Selamat pagi teman-teman.. Aku mau cerita tentang berladang.. Ng.. Kakekku adalah seorang petani.. Ng.. Kemarin Kakek mengajak...~”

Toni, seorang anak lelaki pemalu yang senang berdongeng. Tetapi berani bercerita hanya kepada boneka-boneka yang tersusun di belakang kelas.

Setelah semua anak bercerita ke depan, giliranku untuk bercerita.
Aku menceritakan tentang liburanku.
Dalam waktu dua minggu, yang Aku lakukan setiap hari ialah ke taman kota dekat sekolah ini dan mulai melukis.
Aku suka melukis.
Aku ingin mengajarkan kepada mereka tentang ekspresi dalam setiap lukisan.
Ah, bukan. Bukan mengajarkan mereka paham realisme, atau naturalisme, atau impresionisme dan teman-temannya. Tetapi memberitahu mereka bahwa, melukis bisa menyalurkan ekspresi. Daripada melakukan hal yang lainnya yang cenderung buruk, lebih baik salurkan ke hal lain yang lebih baik, melukis misalnya.

Tidak terasa, jam pulang sudah datang.
Setelah menutup sesi pembagian nilai tentang tugas ketika liburan, Aku mengucapkan selamat jalan dan sampai bertemu lagi kepada Anak-anak didikku.

“Pak Yoga, di panggil Ibu Kepala Yayasan.”
“Iya, baik Bu Nur.”
Aku menghentikan kegiatan membereskan catatanku dan sesegera mungkin menghapus papan tulis yang penuh dengan corat-coret.

TOK-TOK-TOK..
“Ibu, memanggil Saya?”
“Masuk Pak Yoga. Silahkan duduk.”
“Terima kasih Bu.”
“Pak Yoga yakin, akan melanjutkan bekerja disini?”
“Yakin Bu.”
“Apa tidak sayang, Pak Yoga sudah diterima mendapatkan beasiswa ke Jerman tetapi tidak diambil?”
“Tidak apa-apa Bu. Nanti Saya bisa mengajukan lagi.”
“Kalau boleh Saya tahu, kenapa Pak Yoga tidak jadi pergi?”
Aku hanya tersenyum.
“Ada hal yang belum selesai disini Bu. Jadi belum bisa pergi.”
“Oh begitu. Tapi Pak Yoga pintar sih, Saya yakin nanti kalau daftar lagi dan sudah siap, pasti dapat beasiswa lagi.”
“Terima kasih Bu.”
“Ya sudah kalau begitu. Selamat menjalankan tugas lagi ya Pak Yoga.”
“Iya, terima kasih Bu. Jika tidak ada hal yang lain, Saya permisi.”
“Silahkan.”

“Yoga!”
Aku mencari arah suara.
“Rona?! Ina?! Hai..”
Aku berjabat tangan dengan keduanya. Mereka adalah orang tua Dita.
“Kita kemaren ngomongin Kamu loh. Enggak jadi ngambil beasiswa itu ya?”
Aku tersenyum.
“Kita denger kok ceritanya. Masa lalu Ga. Kita sekarang harus belajar lebih dewasa.”
“Sayang, enggak usah sok dewasa. Bukannya semangatin Yoga, malahan diledekin.”
Ina memukul pelan tangan suaminya.
“Gimana kalau hari ini Kamu ke rumah Kita? Nanti Aku masakin tongseng kesukaan Kamu deh.”
“Iya, Ga. Ikut ke rumah yuk. Kita ngobrol-ngobrol sekalian.”
“Makasih ya guys. Tapi masih ada tugas nih. Belum selesai. Kayaknya pulangnya sore. Makasih loh atas tawarannya. Mungkin bisa lain kali..?..”
“Bisa banget Ga. Ya udah. Kita duluan ya Ga.”
“Pak guru Om, Aku pulang dulu ya.. Dadaaaah..”
Dita menyalami tanganku. Karena Aku adalah Gurunya dan teman orang tuanya, Dia suka memanggilku Pak guru Om.
“Iya, hati-hati ya cantik..”

Aku kembali ke kelasku setelah banyak melambaikan tangan kepada Anak-anak didikku yang berpamitan pulang di jemput orang tuanya.
‘Ada yang belum selesai? Urusan apa? Ha.. ha.. ha..’, ucapku bebisik sinis.
Aku memandang ruang kelas ini. Kosong.

‘Aku pengen Kamu jadi guru TK’
‘Kenapa?’
‘Biar nanti anak kita semangat sekolah. Karena bisa ketemu sama Papahnya.’
‘Cuma karena itu?’
‘Iya. Pokoknya harus.’
‘Oke.. oke..’

‘Aku enggak suka Kamu pakai baju garis-garis itu.’
‘Loh? Kenapa?’
‘Ngingetin sama Zebra. Aku enggak suka sama Zebra.’
‘Oke.. oke..’

‘Aku enggak suka Kamu asik terima telepon ketika bareng Aku.’
‘Kenapa?’
‘Bisa enggak sih, Kamu enggak nanya ‘kenapa, kenapa’ terus?!’
‘Tapi itu kan kerjaan..’
‘Pokoknya AKU ENGGAK SUKA!’

Indah.. Namanya tidak sesuai dengan sifatnya, kurasa.
Aku menjalani hubungan sudah 3 tahun.
Karena Aku tergolong manusia yang cuek, keposesifan Indah rasanya masih bisa Aku izinkan.
Ketidaksukaannya, kecemburuannya, larangan-larangan ini dan itu, semua masih bisa Aku jalani.

‘Besok siang kita ketemuan di tempat biasa ya.’
‘Sepulang kerja Aku ya. Eh, Tumben harus janjian dulu? Biasanya hari kerja sibuk banget, sampai weekend juga enggak bisa ketemuan.’
‘Udah deh, enggak usah ngegoda. Enggak lucu tau! Udah ah, sampai besok. Bye!’
Indah menutup telepon duluan.

Sudah enam bulan ini Dia dingin.
Walau masih melarang ini dan itu, tetapi tidak semanja dulu.
Mungkin kerjaannya sekarang membuatnya menjadi dewasa.
Dia adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan ternama di kota ini.
Kepintarannya itulah yang membuatku jatuh cinta.

‘Kenapa sih, Kamu tetap menjadi seorang guru TK?’
‘Hah? Kan biar Aku bisa ngajarin anak kita nanti’
‘Kan enggak harus jadi guru TK. Kamu cerdas loh. Kamu dapat beasiswa ke Jerman. Kamu bisa terusin S2 disana. Kan bisa jadi dosen, atau apa kek’
‘Kamu enggak inget pas kita kuliah Kamu yang minta Aku untuk jadi guru TK?’
‘Tapi Kamu kan laki-laki. Harusnya Kamu bisa dong ngatur Aku. Tolak kek, apa kek.’
‘Kamu kenapa sih? Tiba-tiba emosi gini?’
‘Kok Kamu bilang Aku emosi?! Kamu berubah! Kamu dulu enggak pernah marah-marah sama Aku!’
‘Hah? Apanya? Aku enggak marah loh ini. Aku nanya.’
‘Udahlah! Kita udah enggak cocok. Kita putus!’
‘Kok? Tapi..~’
‘Aku mau pulang! Bye!’
‘Indah...’

Indah pergi meninggalkan Aku di kursi kesukaan Kami berdua.
Entah mengapa rasanya diri ini tidak ingin mengejarnya dan meminta penjelasan ini dan itu.

TOK-TOK-TOK..
“Ya.. sebentar.. Ya..?..”
“Dengan Bapak Yoga?”
“Iya, Saya.”
“Ini ada kiriman dokumen. Tanda tangan disini Pak.”
“Terima kasih ya Mas.”
Kubuka. Undangan pernikahan Indah dengan Jeremy, teman kantornya. Bosnya. Atasannya. Orang yang selalu Dia ceritakan dengan bangga.
Baru saja kemarin Kami putus.
Bahkan baru saja 18 jam lalu.
Belum 24 jam.
Belum hitungan hari.

Aku membolak-balikan undangan itu. Membaca dengan teliti. Berharap ada kesalahan pada nama mempelai atau foto mempelai. Tapi semakin teliti, semakin tidak percaya. Karena itu nyata. Itu nama Indah-ku yang kupercayakan hatiku. Indah-ku yang kujalani 3 tahun tanpa pertengkaran karena Aku malas bertengkar untuk hal remeh. Iya, itu adalah Indah.

Ingin rasanya Aku mendatangi rumahnya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi kuurungkan.
Aku membatalkan tiket pesawat yang ku beli. Membatalkan mimpi bersekolah di Jerman. Membatalkan meneruskan S2. Membatalkan pengunduran diri dari tempat mengajarku.

Indah tidak harus menjadi bagian dari mimpiku lagi.
Toh selama ini Dia mempersiapkan pernikahannya dengan orang lain ketika Dia bersama denganku.
Indah, tidak selamanya Indah.

_rdmw_

Tuesday, September 15, 2015

Cerita lain tentang pesan-antar

“Selamat malam, Healthy Chicken dengan Rosi ada yang bisa di bantu?”
“Malam mbak, Saya mau pesan.”
“Dengan siapa Saya bicara?”
“Saya Alga”
“Oke mbak Alga, ada nomor lain yang digunakan selain nomor ini?”
“Cuma ini aja mbak.”
“Baik. Mbak Alga alamat masih di jalan serayu nomor 60?”
“Iya mbak, masih.”
“Baik mbak Alga, pesanannya silahkan.”
“Saya pesan paket combo dua nya lima ya mbak.”
“Paket combo dua, green chicken satu, nasi satu, perkedel kentangnya satu dan lemon tea nya satu, lima paket. Ada tambahan lain mbak?”
“Sama susu coklatnya dua.”
“Susu coklat dua. Ada lagi?”
“Sudah.”
“Baik. Saya ulangi pesanannya ya. Paket combo dua nya lima buah ditambah susu coklatnya dua buah. Totalnya seratus dua puluh tiga ribu sudah dengan ongkos kirim. Membayar menggunakan pecahan berapa mbak? Biar nanti kami siapkan.”
“Dengan seratus ribuan mbak.”
“Dengan seratus ribuan, pengiriman sekitar 15 sampai 30 menit. Tidak apa-apa?”
“Silahkan mbak.”
“Ada lagi yang bisa kami bantu mbak Alga?”
“Itu aja dulu. Terima kasih mbak.”
“Terima kasih sudah menghubungi Healthy Chicken. Selamat malam.”
“Malam”

“Raaaaf, pesanaaaan..”
“Iya.. sebentar..”
“Jalan serayu nomor 60. Atas nama Mbak Alga. Rumahnya warna biru muda kedelapan dari jalan, ketiga dari pojok belokan yang mau ke mini market.”
“Wah... Mas Ibnu sampai hapal gitu”
“Langganan Raf. Sekitar sebulan sekali pasti ada nelepon pesen Healthy Chicken.”
“Oooh.. Oke deh. Pergi dulu mas.”

15 menit kemudian..
Tok.. Tok.. Tok..
Tidak lama, pintu abu-abu itu terbuka.
“Selamat malam.. Kami da..”
“Ya..”
“Maaf. Kami dari Healthy Chicken  mengantarkan pesanan atas nama Mbak Alga..?..”
“Iya, Saya sendiri.”
“Ini mbak, pesanannya. Combo dua nya lima..Totalnya seratus dua puluh tiga ribu rupiah.”
“Hmmm.. Susu coklatnya mas?”
“Oh iya maaf. Susu coklatnya dua ya mbak.”
Wanita itu tersenyum. Manis..
Sambil menyerahkan uang dua lembar seratus ribu, dia meletakkan pesanan diatas meja ruang tamu.
“Kembaliannya tujuh puluh tujuh ribu rupiah ya mbak. Ini silahkan..”
“Iya terima kasih mas..”
“Eh, Saya Rafa..”
Alga tersenyum.
“Terima kasih mas Rafa”
Rafa menjabat tangan Alga.
Terdiam dan terhening.
“Maaf mas Rafa..”
“Iya. Maaf mbak Alga.. hem.. ada lagi yang bisa Saya bantu?”
Heningnya Rafa membuat Alga harus menegurnya agar melepaskan tangan Alga.
“Enggak kayaknya. Terima kasih ya..”
“Kalau begitu, selamat malam.. Mbak.. Alga..”
“Iya..  Selamat malam Mas Rafa”

Alga menutup pintu.
Rafa sudah menaiki motornya dan terdiam menatap pintu rumah Alga.
Membayangkan Alga tersenyum di depan pintu.
Dan membalas tersenyum, seolah itu nyata.
"Sampai jumpa bulan depan", ujar Rafa berbisik.
Ya, Rafa menikmati senyum Alga dan menyukainya sejak pertama.
_rdmw_

Tuesday, September 8, 2015

Cerita lain tentang Kita

“Kenapa enggak dateng sih? Dia temen kecil kita loh.”
“Enggak ah. Enggak deket”
“Halah, bilang aja males ditanya ‘kapan nyusul’ kan?”
“Hehehe. Lagian baru bangun. Ngerti lah.”
“Katanya baru bangun, tapi kenapa udah nongkrong disini? Rumah orang lagi!”
“Duh.. Galaknya. Berapa orang yang nanya kapan nyusul?”
“De-la-pan. Dua lagi dapet gelas.”

Dia merengut. Aku suka melihatnya merengut.

“Mau ditambahin enggak? Biar deket ke sepuluh terus bisa dapet gelas?”
“Oh. Mau dibuang ke rawa-rawa?”
“Hahaha... Terus kenapa enggak bawa pasangannya?”
“Pasangan yang mana? Yang dua bulan? Yang seminggu? Yang setahun? Yang..~”
“Yang belum bisa move on.. ?..”

Dia diam seketika.
“Yang belum bisa move on udah ditelen sama t-rex.”
“Enak aja!”
“Yeee.. memangnya ngomongin situ?”

Ada jeda 5 detik diantara Kami.
“Masih suka ya?”

Dia tidak menjawab.
Matanya menatap lurus ke depan.
***
Kami satu sekolah.
Satu kelas bahkan.
Dari mulai mengenakan seragam putih-merah hingga putih-abu-abu Aku mengenalnya.
Hingga tahun lalu Aku pindah tempat tinggal.
Orang tuaku membeli rumah sedikit lebih ke tengah kota.
Jadilah Kami bertetangga.

Hingga akhirnya Kami beda tempat kuliah. Dia mengambil jurusan Bisnis Menejemen dan Aku jurusan Seni Rupa.

“Tante, Aku mau ngambil buku gambar, kemarin ketinggalan di kamar Mia.”
“Kamu langsung ke kamar Mia aja deh, Dion, Mia nya belum pulang, ini tante tanggung lagi masak.”
“Oke, Tante.”

Kamarnya minimalis.
Ini tempat favoritku.
Semenjak Kami bertetangga, Aku suka sekali bermain disini. Terlebih Papahku dan Papahnya satu kantor.

Aku mengacak-acak kamarnya.
“Marah Dia pasti kalau berantakan gini. Dimana ya bukunya?”
Aku sibuk mencari kesana-kemari.
Dia memang apik.
“Aha! Ketemu.. Eh..”

Buku biru.
Biru, adalah warna kesukaannya.
Buku itu tidak sengaja jatuh bersamaan dengan ketika Aku menarik bukuKu.

“Lelaki itu mulai suka menggangguku.
Tapi Aku tidak merasa risih sama sekali.”

Wah.. Menarik..

“Dia tidak tau. Aku pun tidak tau.
Aku bersamanya ketika hatiKu memilih orang lain.”

Tanpa terasa jariku tetap membuka lembaran catatan singkat dengan tulisan tangan Mia.
Ini semacam buku harian, tetapi tidak terlalu rinci seperti buku harian kebanyakan.
Aku tahu, karena dulu ketika SD pun Aku memiliki buku harian, walaupun Aku seorang lelaki.

“Ingin rasanya aku berteriak di telinganya.
Tapi Aku tidak ingin merusak semuanya.”

Sepertinya Mia bukan seorang penulis yang rajin.
Rasanya dia menuliskan hanya beberapa kalimat setiap satu tahun sekali.

“Iya, Aku tau. Aku menyukainya sejak pertama.
Sejak insiden sepatu itu..”

Eh, tunggu...
Aku berkenalan dengan Mia karena Aku mengenakan sepatunya setelah ganti baju olahraga.
Aku dengan seenaknya mengambil sepatu yang bukan miliku.

“Raganya kini lebih dekat.
Aku bisa melihatnya kapanpun Aku mau.”

Kenapa..?..

“Dia tidak akan pernah melihatKu seperti Aku melihatnya.
Ya, Aku menyadari hal itu.”

Rasanya..

“Dia mengajariku membuat pie kentang, kesukaannya.
Yang juga menjadi kesukaanku, karena Dia.”

Pie kentang? Favoritku.

“Mamah bikin kue tuh, disuruh ke bawah. Kamu lama banget nyari bukunya?”
“Eh, iya. Iya.”
“Udah ketemu?”
“Iya, udah. Yuk ke bawah.”

Walau buru-buru Kuletakkan buku itu, tapi Aku rasa Dia tidak melihat Aku membaca catatannya.

Setelah berbincang dan menghabiskan kue buatan Mamahnya, Aku berpamitan pulang.

“Aku pulang dulu ya. Besok ada kuliah pagi nih. Bangunin dong...”
“Kamu pikir Aku jam weker? Bangun sendiri lah. Hape ada alarm nya loh.”
“Jadi enggak mau?”
“Hih! Ya udah, iya.”
“Gitu dong hehe”
“Terus...?”
“Apanya?”
“Terus, udah selesai baca catatan Aku nya?”

Aku terkejut. Dia tahu.
“Kamu liat?”
“Iya”
“Maaf ya. Tadinya penasaran. Terus kebaca banyak. Jadi makin penasaran”
“Kalau kebaca itu lebih ke enggak sengaja loh”
“Eh, iya maksudnya dibaca dengan sengaja. Hem. Itu... Aku?”
“Iya”

Dia melihatku sambil tersenyum simpul.

“Sejak kapan?”
“Tujuh tahun lalu..”
“Kenapa enggak bilang?”
“Enggak bisa di bilang Kamu enggak tahu ya. Temen-temen Kamu tahu juga kayaknya.”
“Aku pikir... Kamu bercanda.”

Dia menatap langit.
Kami terdiam beberapa detik.
“Ya udah sana pulang. Katanya besok minta di bangunin pagi.”
Dia mendorongku dari belakang.

“Aku..~”
“Enggak udah dipikirin terlalu dalam lah. Kamu enggak usah ribet mikirin perasaan orang lain. Sana masuk rumah. Byeee..”

Sesampainya di kamar, Aku berpikir.
Rasanya menjadi aneh.
Entahlah, Aku pun tidak tahu apa yang aneh.
Rasanya ada yang mengganjal di hatiku.

Jadi, selama ini Dia menyukaiku.
Dulu ketika SMA memang ada kabar bahwa Dia menyukaiku.
Hanya saja tidak Aku gubris.
Kupikir Dia hanya menggodaku. Karena Aku juga suka menggodanya.
Tapi ternyata..
***
Kejadian itu sudah setahun lalu.
Aku masih sedikit canggung jika dekat dengannya.
Tapi Dia masih bersikap biasa seperti tidak pernah ada kejadian apapun.
Sedikit tertolong dengan Aku yang dapat part-time di sebuah toko buku, jadi ada kesibukan dan tidak memikirkan kecanggungan itu.

“Eh, mau semur daging enggak?”
“Aduh, Aku masih kenyang. Kan baru dari kondangan.”
“Aku laper nih. Temenin makan yuk.”
Aku menarik tangannya untuk mengikutiku ke rumahku dan menemaniku makan.

Aku makan dengan lahap di ruang tengah.
Dia menemaniku sambil menonton televisi.

“Aku mandi dulu ya.”
“Tumben?”
“Hehe..”

Selesai Aku mandi, Dia sudah tidak ada di rumahku. Mungkin pulang.

Dan ketika akan pergi, Aku melihatnya yang akan masuk ke rumahnya.
“Aku mau kerja dulu.”
Sebelum Dia bertanya, Aku menjelaskan terlebih dahulu.

“Kita....”
Aku mendengarkan suaranya yang sangat pelan.
“Kita kan enggak ada apa-apa.”
“Oh. Iya. Kita memang enggak ada apa-apa.”
Dia membalikan badannya untuk masuk ke rumah.
Aku melihat badannya sedikit bergetar.
Kurasa Aku salah berbicara.
Aku tarik lengannya, “Tapi bukan berarti Kita enggak bisa ada apa-apa.”
Dia menatapku.
Mungkin ini saatnya Aku memulai hal baru dengannya.

_rdmw_

Friday, August 28, 2015

Kenalan 2004

Aloha Bubly-Blog..
Apa kabar?

Sebentar lagi Agustus udahan..
Sebenarnya Saya ada sedikit trauma di Agustus.. Tahun kemaren sih.. Tapi tidak membuat trauma ketakutan. Cuma masih kesal kalau diingat haha

Saya sebenarnya mau cerita dari bulan kemarin, cuma.. Yaaa.. gitulah (alasan yang masih belum terdeteksi haha)

Jadi gini..
Ketika bulan kemarin puasa, eh bukan bulan puasanya sih. Ketika Lebaran lebih tepatnya.
Setelah Shalat Ied yang ditempatkan dipojok dan tidak terdeteksi oleh orang banyak (padahal segede gini =_=), sesuai tradisi, Saya dan beberapa tetangga perempuan bersalam-salaman lebih dulu.
Jadinya sedikit terlambat keluar masjid.
Walau terlambat keluar, tapi di depan masjid masih ada beberapa orang berkumpul. Mereka sibuk mencari sendal masing-masing.

Nah, saat mencari sendal, ada sesosok yang Saya kenal. Sepertinya sih.
Tapi Saya tidak berani menyapa. Takut salah orang.

Tidak berapa jauh dari sana, (ketika sedang bergosip dengan tetangga),

“Ris..ma..?..”

Dan ya, ternyata Kita kenal hahaha

Saya ceritakan sedikit tentang mas-mas ini.
Kami kenal ketika SMP kelas 3.
Saya sekelas dengannya.
Entah apa yang terjadi (lupa kebetulan), Saya memanggilnya “Keponakan”.
Kita jadi teman curhat.
Eh, enggak sih, Dia yang lebih banyak curhat haha
Mari kita sebut Dia, MasK.

Suatu hari, Dia cerita kalau sedang suka dengan wanita kelas lain.
Panggil saja, MbakGo.
MbakGo ini adalah teman dari salah satu teman baik Saya ketika SMP kelas 3.
Mereka sempat sekelas pas kelas 1 (apa kelas 2 gitu, sedikit lupa).
Jadi, tiap MasK curhat tentang MbakGo, ada Saya dan teman Saya itu.

Mereka sempat jadi pasangan sih. Hanya saja banyak berantemnya.
Bukan berantem pukul-pukulan gitu ya. Bukan juga adu mulut. Lebih ke saling diam karena saling cemburu.
Padahal setahu Saya, diantara Mereka berdua enggak ada yang sibuk main mata dengan orang lain.

Tiap mereka sedang marahan gitu, enggak mau saling bicara.
MasK curhat ke Saya.
MbakGo curhat ke teman Saya.
Dan, yang menyelesaikan masalah Mereka berdua adalah Saya dan teman Saya itu.

Kami berdua yang diskusi, mencari jalan tengah, dan menjadi juru bicara dari masing-masing pihak.
Tapi itu berhasil dan berlangsung hampir setahun hahaha
Enggak ngerti juga sih kenapa Saya dan teman Saya mau aja disuruh menyelesaikan masalah Mereka =__=

“Haaii.. MasK? Apa kabar? ”
“Baik Ma. Kamu gimana kabarnya? Dimana sekarang?”
“Baik, baik. Disini aja hahaha. Kamu dimana sekarang?”
“Di Gedebage Ma. Kamu udah nikah?”
(sebelas tahun enggak ketemu, dan pertanyaan pertama dia adalah pernikahan, =__=)
“Belum. Kamu?”
“Udah Ma, Alhamdulillah.. Itu tadi Istri sama Anak udah duluan. Udah lama banget ya Kita enggak ketemu?”
“Ya ampun.. Iya, Kita udah lama banget enggak ketemu dan sekarang Kamu udah anakan haha. Kita ketemu terakhir 2004.. Lama juga ya..”
(anakan? Dikata ayam? =_=)
“Hahaha.
Duluan ya Ma..”
“Oke.. Oke.. Salamin ke anak sama Istri yaaa...”
“Iya.. Siap!”

Terakhir Saya ngeliat Dia tahun 2004. Ketika Dia mau Jumat-an di masjid dekat rumah Saya.
Karena kebetulan rumah neneknya enggak jauh dari rumah Saya dan Kita udah beda sekolah.

Astaga, 2004 ternyata udah 11 tahun lalu ya..
Cepet juga.. hem..

Bandung, 28 Agustus 2015
Salam,
Risma Dwi MW