Thursday, September 17, 2015

Cerita lain tentang mengajar

“Selamat pagi, Anak-anak..”
“Pagi Paaaak...”
Semangat. Itulah setiap pagi yang harus Aku tumbuhkan. Agar anak didik yang kuajari juga ditulari oleh semangat.
“Gimana sama liburannya? Ada cerita yang bisa Bapak dengarkan tidak?”
“Aku..”
“Aku aja Pak..”
“Aku mau cerita..”
“Tenang, tenang. Satu-satu ya. Coba mulai dari depan dulu. Ayo, Dita. Kamu ada cerita?”
“Ada, Pak guru! Aku mau cerita tentang kolam pancing Kakek. Jadi kan kemaren Aku..~”

Dita. Salah satu murid kesukaanku. Dia selalu semangat. Dan mampu menularkan keceriaannya kepada teman-teman sekelasnya.
Anaknya manis dan sopan. Ajaran kedua orang tuanya.
Kebetulan Aku kenal. Mereka teman kampusku dulu.
“Gitu Pak.. Jadi, Aku kayaknya liburan nanti mau kesana lagi.”
Dita tertawa.
“Wah.. Bisa-bisa Kamu nanti jadi pemancing handal ya. Kita kasih tepuk tangan untuk Dita.”
Ruangan ini kembali riuh.
Dita kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum bangga, seperti telah memenangkan sesuatu.

“Berikutnya... Toni.. Sudah siap? Ayo ke depan, ceritakan kepada teman-teman semua.”
Toni mengangguk dan mulai berjalan ke depan kelas dengan malu-malu.
“Ng.. Selamat pagi teman-teman.. Aku mau cerita tentang berladang.. Ng.. Kakekku adalah seorang petani.. Ng.. Kemarin Kakek mengajak...~”

Toni, seorang anak lelaki pemalu yang senang berdongeng. Tetapi berani bercerita hanya kepada boneka-boneka yang tersusun di belakang kelas.

Setelah semua anak bercerita ke depan, giliranku untuk bercerita.
Aku menceritakan tentang liburanku.
Dalam waktu dua minggu, yang Aku lakukan setiap hari ialah ke taman kota dekat sekolah ini dan mulai melukis.
Aku suka melukis.
Aku ingin mengajarkan kepada mereka tentang ekspresi dalam setiap lukisan.
Ah, bukan. Bukan mengajarkan mereka paham realisme, atau naturalisme, atau impresionisme dan teman-temannya. Tetapi memberitahu mereka bahwa, melukis bisa menyalurkan ekspresi. Daripada melakukan hal yang lainnya yang cenderung buruk, lebih baik salurkan ke hal lain yang lebih baik, melukis misalnya.

Tidak terasa, jam pulang sudah datang.
Setelah menutup sesi pembagian nilai tentang tugas ketika liburan, Aku mengucapkan selamat jalan dan sampai bertemu lagi kepada Anak-anak didikku.

“Pak Yoga, di panggil Ibu Kepala Yayasan.”
“Iya, baik Bu Nur.”
Aku menghentikan kegiatan membereskan catatanku dan sesegera mungkin menghapus papan tulis yang penuh dengan corat-coret.

TOK-TOK-TOK..
“Ibu, memanggil Saya?”
“Masuk Pak Yoga. Silahkan duduk.”
“Terima kasih Bu.”
“Pak Yoga yakin, akan melanjutkan bekerja disini?”
“Yakin Bu.”
“Apa tidak sayang, Pak Yoga sudah diterima mendapatkan beasiswa ke Jerman tetapi tidak diambil?”
“Tidak apa-apa Bu. Nanti Saya bisa mengajukan lagi.”
“Kalau boleh Saya tahu, kenapa Pak Yoga tidak jadi pergi?”
Aku hanya tersenyum.
“Ada hal yang belum selesai disini Bu. Jadi belum bisa pergi.”
“Oh begitu. Tapi Pak Yoga pintar sih, Saya yakin nanti kalau daftar lagi dan sudah siap, pasti dapat beasiswa lagi.”
“Terima kasih Bu.”
“Ya sudah kalau begitu. Selamat menjalankan tugas lagi ya Pak Yoga.”
“Iya, terima kasih Bu. Jika tidak ada hal yang lain, Saya permisi.”
“Silahkan.”

“Yoga!”
Aku mencari arah suara.
“Rona?! Ina?! Hai..”
Aku berjabat tangan dengan keduanya. Mereka adalah orang tua Dita.
“Kita kemaren ngomongin Kamu loh. Enggak jadi ngambil beasiswa itu ya?”
Aku tersenyum.
“Kita denger kok ceritanya. Masa lalu Ga. Kita sekarang harus belajar lebih dewasa.”
“Sayang, enggak usah sok dewasa. Bukannya semangatin Yoga, malahan diledekin.”
Ina memukul pelan tangan suaminya.
“Gimana kalau hari ini Kamu ke rumah Kita? Nanti Aku masakin tongseng kesukaan Kamu deh.”
“Iya, Ga. Ikut ke rumah yuk. Kita ngobrol-ngobrol sekalian.”
“Makasih ya guys. Tapi masih ada tugas nih. Belum selesai. Kayaknya pulangnya sore. Makasih loh atas tawarannya. Mungkin bisa lain kali..?..”
“Bisa banget Ga. Ya udah. Kita duluan ya Ga.”
“Pak guru Om, Aku pulang dulu ya.. Dadaaaah..”
Dita menyalami tanganku. Karena Aku adalah Gurunya dan teman orang tuanya, Dia suka memanggilku Pak guru Om.
“Iya, hati-hati ya cantik..”

Aku kembali ke kelasku setelah banyak melambaikan tangan kepada Anak-anak didikku yang berpamitan pulang di jemput orang tuanya.
‘Ada yang belum selesai? Urusan apa? Ha.. ha.. ha..’, ucapku bebisik sinis.
Aku memandang ruang kelas ini. Kosong.

‘Aku pengen Kamu jadi guru TK’
‘Kenapa?’
‘Biar nanti anak kita semangat sekolah. Karena bisa ketemu sama Papahnya.’
‘Cuma karena itu?’
‘Iya. Pokoknya harus.’
‘Oke.. oke..’

‘Aku enggak suka Kamu pakai baju garis-garis itu.’
‘Loh? Kenapa?’
‘Ngingetin sama Zebra. Aku enggak suka sama Zebra.’
‘Oke.. oke..’

‘Aku enggak suka Kamu asik terima telepon ketika bareng Aku.’
‘Kenapa?’
‘Bisa enggak sih, Kamu enggak nanya ‘kenapa, kenapa’ terus?!’
‘Tapi itu kan kerjaan..’
‘Pokoknya AKU ENGGAK SUKA!’

Indah.. Namanya tidak sesuai dengan sifatnya, kurasa.
Aku menjalani hubungan sudah 3 tahun.
Karena Aku tergolong manusia yang cuek, keposesifan Indah rasanya masih bisa Aku izinkan.
Ketidaksukaannya, kecemburuannya, larangan-larangan ini dan itu, semua masih bisa Aku jalani.

‘Besok siang kita ketemuan di tempat biasa ya.’
‘Sepulang kerja Aku ya. Eh, Tumben harus janjian dulu? Biasanya hari kerja sibuk banget, sampai weekend juga enggak bisa ketemuan.’
‘Udah deh, enggak usah ngegoda. Enggak lucu tau! Udah ah, sampai besok. Bye!’
Indah menutup telepon duluan.

Sudah enam bulan ini Dia dingin.
Walau masih melarang ini dan itu, tetapi tidak semanja dulu.
Mungkin kerjaannya sekarang membuatnya menjadi dewasa.
Dia adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan ternama di kota ini.
Kepintarannya itulah yang membuatku jatuh cinta.

‘Kenapa sih, Kamu tetap menjadi seorang guru TK?’
‘Hah? Kan biar Aku bisa ngajarin anak kita nanti’
‘Kan enggak harus jadi guru TK. Kamu cerdas loh. Kamu dapat beasiswa ke Jerman. Kamu bisa terusin S2 disana. Kan bisa jadi dosen, atau apa kek’
‘Kamu enggak inget pas kita kuliah Kamu yang minta Aku untuk jadi guru TK?’
‘Tapi Kamu kan laki-laki. Harusnya Kamu bisa dong ngatur Aku. Tolak kek, apa kek.’
‘Kamu kenapa sih? Tiba-tiba emosi gini?’
‘Kok Kamu bilang Aku emosi?! Kamu berubah! Kamu dulu enggak pernah marah-marah sama Aku!’
‘Hah? Apanya? Aku enggak marah loh ini. Aku nanya.’
‘Udahlah! Kita udah enggak cocok. Kita putus!’
‘Kok? Tapi..~’
‘Aku mau pulang! Bye!’
‘Indah...’

Indah pergi meninggalkan Aku di kursi kesukaan Kami berdua.
Entah mengapa rasanya diri ini tidak ingin mengejarnya dan meminta penjelasan ini dan itu.

TOK-TOK-TOK..
“Ya.. sebentar.. Ya..?..”
“Dengan Bapak Yoga?”
“Iya, Saya.”
“Ini ada kiriman dokumen. Tanda tangan disini Pak.”
“Terima kasih ya Mas.”
Kubuka. Undangan pernikahan Indah dengan Jeremy, teman kantornya. Bosnya. Atasannya. Orang yang selalu Dia ceritakan dengan bangga.
Baru saja kemarin Kami putus.
Bahkan baru saja 18 jam lalu.
Belum 24 jam.
Belum hitungan hari.

Aku membolak-balikan undangan itu. Membaca dengan teliti. Berharap ada kesalahan pada nama mempelai atau foto mempelai. Tapi semakin teliti, semakin tidak percaya. Karena itu nyata. Itu nama Indah-ku yang kupercayakan hatiku. Indah-ku yang kujalani 3 tahun tanpa pertengkaran karena Aku malas bertengkar untuk hal remeh. Iya, itu adalah Indah.

Ingin rasanya Aku mendatangi rumahnya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi kuurungkan.
Aku membatalkan tiket pesawat yang ku beli. Membatalkan mimpi bersekolah di Jerman. Membatalkan meneruskan S2. Membatalkan pengunduran diri dari tempat mengajarku.

Indah tidak harus menjadi bagian dari mimpiku lagi.
Toh selama ini Dia mempersiapkan pernikahannya dengan orang lain ketika Dia bersama denganku.
Indah, tidak selamanya Indah.

_rdmw_

No comments:

Post a Comment