Saturday, November 21, 2015

Cerita lain tentang teman masa kecil

“Mbak Mari, tunggu disini dulu ya, Saya ambil dulu uangnya.”
“Oke Bu.”
Baru saja Aku mengantarkan hasil jahitan Ibuku kepada Bu Sumi yang merupakan tetanggaku. Rumah Kami hanya beda blok saja.
Selagi menunggu, Aku melihat-lihat tanaman Bu Sumi.
Bu Sumi adalah seseorang yang ahli perihal tanam-menanam bunga. Walau pekarangan rumahnya kecil, tapi terlihat rapih dan tidak bosan untuk dipandang.
Dan ketika serius memerhatikan bunga kecil warna merah, Aku mendengar suara mobil yang dipanaskan.
Honda Jazz biru..

Itu.... Salim..

***

“MARI!”
“IYA BU, SEBENTAAAAR..”
“Masuk dulu nak.”
“Iya Bu. Terima kasih”
Ibu memanggilku ketika Aku selesai membungkus kado untuk sepupuku yang berulang tahun hari ini.
Aku mendengar Ibu berbincang dengan seorang lelaki.
Entahlah, suaranya seperti pemuda yang sebaya denganku.

“Ada apa Bu?”
“Nah! Ini dia orangnya. Mari, ingat dengan Salim?”
“Salim?”
Lelaki itu tersenyum.
“Aduh.. Nak Salim, maaf ya. Mari sudah lama tidak pulang. Dia lupa pasti”
“BU.. INI GULAINYA DIMATIIN JANGAN?”, Ayahku berteriak dari dapur.
“EH, TUNGGU DULU! Mari, temani Salim dulu ya.”
“Eh, Bu, tapi Aku..”
Dan kemudian di ruang tamu hanya tinggal Aku dan Salim.

Salim, rasanya nama itu ku kenal.

“Gimana dengan Sukabumi?”
“Sukabumi? Hem.. jadi suka banjir. Mungkin karena udah masuk musim hujan.
Hem.. Salim ya? Maaf. Akhir-akhir ini ingatan jangka panjangku kurang kuat.”
“Hahaha.. bukannya dari dulu ya?”
Aku terheran.
“Segitu enggak berartinya ya, sampai Kamu lupa tentang Kita?”
“Hah?! Tentang Kita?!”
Salim terlihat sekali menahan tawa.
Aku mulai memaksa otakku untuk berpikir dan mengingat tentang Salim.
Dan ketika Aku mulai menyerah, Salim tertawa.
“Maaf Mari, rasanya seneng bisa ngegodain Kamu lagi”
“Maaf Salim. Aku enggak inget Kamu siapa”
“Enggak apa-apa kok. Lagian dulu Aku cuma anak kecil laki-laki yang suka ngasih kamu es lilin coklat kalau Kamu lagi kesel”
Di regangkannya badannya sambil duduk.
“Sa..sa..??”

***

TK
“MARI! ADA SASA NIH!”
Aku berlari ke arah pintu.
“Sasa!”
“Aku udah bawa buku gambar sama krayonnya”
“Aduh Sasa, Kita kan hari ini mau ngegambarnya pake pensil warna”
“Pensil warna Aku ketinggalan di sekolah”
Aku enggak suka ngeliat Sasa sedih.
“Ya udah Sasa, jangan sedih. Aku pinjemin pensil warna Aku ya.”
“Makasih ya Mari”
“Iya”, Aku tersenyum lebar.

***

SD
Aku kesel hari ini. Mainan tanah liat Aku rusak. Walau katanya tidak sengaja dirusak, tapi tetep aja kesel. Aku enggak akan main sama Alina lagi. Dia jahat.
“Nih”
Es lilin cokelat.
“Jangan gitu mukanya. Aku enggak suka kalau ngeliat muka Mari gitu. Mendingan makan es lilin aja”
“Kenapa sih, setiap Aku kesel Kamu kasih Aku es lilin cokelat?”
“Karena Aku suka es lilin cokelat.”

***

SMP
“Aku harus ikut Mas Agus ke Sukabumi”, ucapku sambil menikmati es lilin cokelat yang ke dua.
Dia berhenti membuka tali sepatunya dan melihatku.
“Kenapa?”
“Mas Agus mau SMA disana. Sekalian nemenin Abah sama Ambu”
“Terus kenapa Kamu harus ikut?”
“Kalau Mas Agus bantuin Abah di peternakan, Aku nemenin Ambu di rumah.”
“Terus kapan Kamu berangkat?”
“Mas Agus nunggu apa dulu gitu, Aku enggak inget”
“Oh..”
“Cuma ‘Oh’ aja?”
Dan Sasa malah ngebahas tentang tugas sekolahnya.

***

“SASA! KAMU SASA!”
“Giliran Sasa Kamu inget, nama asli Aku Kamu enggak inget. Mari.. please lah.. Itu nama perempuan”
Mukanya langsung berubah.
Aku langsung memeluknya.
“Astaga Sasa! Aku minta maaf enggak inget. Astaga Sasa, Kamu kok bisa berubah gini?! Sasa! Kamu olahragawan sekarang?”
Aku memegang lengannya bagian atas.
“Mari.....”
Mukanya memperlihatkan kekesalan.
“Maaf Sasa. Maaf. Aku.. WAW! Aku enggak percaya. Terus Kamu mau ngapain kesini?”
“Loh?! Memangnya enggak boleh ketemu temen masa kecil?”
“Boleh lah! Astaga Sasa”
“Kamu tuh ya, Sasa-sasa terus. Salim, Mari. Salim”
“Pokoknya Kamu tetep Sasa buat Aku.”
“Setelah bertahun-tahun menghilang yang enggak pamitan, terus ketika dateng beberapa hari lalu, enggak ada keinginan untuk menghubungi Aku gitu?”
“Hahaha.. Maaf Sa, Aku ngurusin kepindahan Aku kuliah aja kemaren cukup ribet. Terus Aku lupa kalau Kamu masih hidup di komplek ini”
“Hidup di komplek ini? Hidup? Haa~aah”
Direbahkannya badannya.
“Segitu enggak pengen ketemu ya?”
“Astaga Sasa, kenapa Kamu berubah jadi mellow dan lebay gini sih? Baperan kayak anak zaman sekarang ya?”
“Bukan gitu sih. Tapi...”
“Tapi..?..”
“Mari.. Pacaran yuk?”
Salim menatapku dengan serius.
Aku tercengang.
“Hah?!”
“Aku serius.”
“Iya, Aku tau ketika orang sedang serius kayak apa. Tapi.. Sa? Kamu bercanda?”
“Aku serius, Mari. Kesempatan Aku ketemu lagi sama Kamu. Aku enggak mau basa-basi lagi. Enggak mungkin dulu setelah sekian lama dan Kamu enggak merasakan apapun ke Aku”
“Mungkin dulu iya. Tapi Salim, itu udah lama banget. Kamu temen kecil Aku, temen deket. Dan.. enggak mungkin deh kayaknya.”
“Apanya yang enggak mungkin? Aku punya perasaan sama Kamu, Mari. Kalau Kamu pun punya, Kita bisa jalanin kan?”
“Enggak bisa Sa”
“Kenapa enggak bisa? Karena Kamu udah enggak kenal Aku lagi? Aku enggak berubah Mari, Aku masih sama seperti Sasa yang dulu. Aku masih..~..”
“Aku udah tunangan Sa.”
Salim terdiam. Antara terkejut, sedih dan menyesal. Aku tidak bisa memaparkan yang terlihat di mukanya.
Salim melepaskan tanganku.
“Kamu terlambat Sa. Coba kalau Kamu datang setahun yang lalu. Mungkin..~..”
“Kalau terlambat, tidak ada kata mungkin, Mari. Maaf Aku mengganggumu. Mungkin sebaiknya Aku pulang ya.”
“Sa..”
“Kamu bahagia?”
“Aku..”
“Mari, Kamu bahagia?”
Aku menganggukkan kepalaku perlahan.
“Aku terlambat. Ini pelajaran ya. Sedikit sakit dan menyedihkan ya. Tapi, terima kasih sudah memberikan jawaban.”
“Maaf ya Sa...”
“Aku yang minta maaf. Kita enggak bisa berteman dekat lagi, Mari”
“Cuma karena Aku bertunangan, Kita enggak bisa temenan kayak dulu?”
“Terserah Kamu mau berpikiran apa tentang Aku. Tapi, dengan ngeliat Kamu dengan lelaki lain, dan yang Aku rasain ke Kamu, susah buat Aku ngilangin niat mengganggu hubungan Kamu.
Mending Aku pamitan. Pamitkan Aku juga kepada Ayah dan Ibumu ya.
Mari, satu hal yang harus Kamu tau. Aku menyukaimu sejak sebelum Aku mengenal rasa suka. Selamat tinggal Mari”
Aku melihat punggunggnya. Hal terakhir yang juga Aku lihat bertahun-tahun lalu ketika Aku akan berpetualang di Kota lain.

***

Salim akan masuk ke mobilnya sambil membawa tas gendongnya.
Walau berjarak 15 meter, tapi Kami sempat bertatapan. Dan kemudian dia membuka pintu mobilnya lalu mulai beranjak pergi.
Ya Salim, Aku tahu. Setelah Aku memberitahu tentang pertunanganku, Aku akan kehilanganmu. Kamu pikir Aku tidak tau perasaanmu ketika dulu. Maka dari itu Aku tidak mendatangimu. Jangan menyulitkanku untuk memilih. Karena tidak perlu ditanya siapa pilihanku.


_rdmw_

No comments:

Post a Comment