Monday, September 21, 2015

Cerita lain tentang kelompok

Pagi ini Aku sudah bangun dari jam 5. Aku akan akan bertemu dengan teman-temanku di lapangan itu. Enggak sabar rasanya.

“Aduh, Fani mana ya?”, Aku melihat sekelilingku.
“Kira!”
“Ih! Kalian lama deh! Aku kesel nungguinnya”
“Iya, maaf. Tadi kita janjiannya di depan. Nungguin Rosa dulu”
“Kok enggak janjian sama Aku juga sih? Kalian janjian berdua aja, nanti kalau kepisah Kita gimana?” 
“Iya ya, jangan sampai pisah Kita ya”

Hari ini ada kegiatan diluar sekolah. Aku dan dua teman baikku ikut kegiatan ini karena disuruh guru.
“Ih rame banget ya”
“Kalian mau masuk divisi apa?”
“Ada acara, ada humas, ada konsumsi, ada pubdok, apa lagi ya... Kita apa nih?”
“Gimana kalau acara? Nanti kita bisa dikenal gitu. Kan biasanya acara jadi mc ya”
“Iya, Kita bisa terkenal gitu, nanti di keceng. Lumayan kan”
“Atau mau pubdok? Biar gampang. Enak juga kan?”
“Udah ah, acara aja.”
“Ya udah, yuk”

‘Untuk teman-teman yang baru datang, silahkan berkumpul dulu dilapangan ya. Terima kasih’
“Baris ayo baris”
“Eh, jangan depan banget ya”
“Kenapa?”
“Enggak mau ah”
“Disini aja, udah disini.”

‘Untuk bagian belakang tolong yang depannya diisi dulu ya. Yang kosong ini masih ada”
“Disini aja Kak”
‘Ayo dong, yang depan diisi dulu biar keliatannya rapih. Ayo Adik-adik’
“Kedepan ini teh? Iya Kak”
Aku ogah sebenarnya ikutan barisan depan. Ini memang enggak depan banget sih, tapi tetap aja bikin kesal.

‘Nah, teman-teman, Kita berhitung ya, dari satu sampai delapan. Setelah delapan, nanti kembali lagi ke satu dan seterusnya. Mulai dari ujung kiri.. Mengerti ya?’
‘1’
‘2’
‘3’
‘4’
.....

‘Sudah semua ya? Silahkan kumpul ke meja sebelah kanan sesuai dengan nomor kalian tadi ya’
“Ngapain ya Kak?”
‘Kita bagi divisi berdasar nomor ya.”
“Ih kok kepisah-pisah gitu Kak?”
“Enggak mau ah enggak mau”
“Biar enak kerjanya sama yang Kita kenal dong Kak”
‘Gini ya teman-teman, Kita kan nanti kerjanya sampai beberapa bulan ke depan. Dan Kita satu kepanitiaan. Jadi biar kenal satu sama lain, harus kenalan’

Aku merengut. Kesalnya. Tahu gitu kan tadi diitung dulu biar bisa barengan sama Fani sama Rosa.
Lagian ngapain sih, harus dipisah-pisah gini?!

‘Ayo dong teman-teman, biar cepat selesai. Biar acaranya bisa di mulai.’
‘Ayo teman-teman, tak kenal maka tak sayang loh.’

“Memang enggak mau sayang-sayangan kok!”, teriakku dalam hati.

‘Ayo, yang kelompok 7 disini.. Disini.. Kita divisi konsumsi loh.. Makan yuk, yang mau makan..’

Kakak-kakak itu percuma teriak-teriak makanan. Kalau Aku enggak sama teman-teman Aku, percuma!

“Kelompok tujuh?”
“Iya”
“Kenalin, Ibra”
“Kira”
“Kira dari mana? Kalau Ibra dari SMA 40”
“Aku dari SMA 28”
“Oooh.. Kira sendiri?”
“Enggak. Tadi sama teman-teman, cuma kepisah. Kalau Kamu sendiri?”
“Perwakilan sekolahnya ada 5, tapi Kita kepisah-pisah semua”
“Ih. Kesel ya, pakai acara dipisah-pisah? Kan enggak bisa barengan sama teman-teman”
“Iya sih. Tapi kan Kita disini bisa kenal sama teman-teman baru. Yang beda sekolah, beda tempat. Asyik deh pasti.”
“Tapi Aku enggak ada yang kenal.”
“Kan Kira udah kenalan sama Ibra. Mari Kita berteman, biar Kira enggak ngerasa sendiri lagi. Yuk, gabung sama teman-teman baru yang lainnya”
‘Untuk teman-teman yang sudah kumpul, silahkan isi data dirinya ya. Perkenalkan Saya..~’

“Kira!”
“Rosa! Kamu jadi divisi apa?”
“Aku sama Fani satu kelompok. Kita divisi humas. Kamu?”
“Aku divisi konsumsi”
“Kita enggak sekelompok deh jadinya”
“Terus id card-nya dibagiin minggu depan pula. Padahal kan mau di foto, terus masukin instagram sama path. Biar gaya”
Sebetulnya Aku enggak dengerin apa yang Fani bilang. Aku masih terngiang omongan Kakak yang tadi, tak kenal maka tak sayang.

_rdmw_

Thursday, September 17, 2015

Cerita lain tentang mengajar

“Selamat pagi, Anak-anak..”
“Pagi Paaaak...”
Semangat. Itulah setiap pagi yang harus Aku tumbuhkan. Agar anak didik yang kuajari juga ditulari oleh semangat.
“Gimana sama liburannya? Ada cerita yang bisa Bapak dengarkan tidak?”
“Aku..”
“Aku aja Pak..”
“Aku mau cerita..”
“Tenang, tenang. Satu-satu ya. Coba mulai dari depan dulu. Ayo, Dita. Kamu ada cerita?”
“Ada, Pak guru! Aku mau cerita tentang kolam pancing Kakek. Jadi kan kemaren Aku..~”

Dita. Salah satu murid kesukaanku. Dia selalu semangat. Dan mampu menularkan keceriaannya kepada teman-teman sekelasnya.
Anaknya manis dan sopan. Ajaran kedua orang tuanya.
Kebetulan Aku kenal. Mereka teman kampusku dulu.
“Gitu Pak.. Jadi, Aku kayaknya liburan nanti mau kesana lagi.”
Dita tertawa.
“Wah.. Bisa-bisa Kamu nanti jadi pemancing handal ya. Kita kasih tepuk tangan untuk Dita.”
Ruangan ini kembali riuh.
Dita kembali ke tempat duduknya sambil tersenyum bangga, seperti telah memenangkan sesuatu.

“Berikutnya... Toni.. Sudah siap? Ayo ke depan, ceritakan kepada teman-teman semua.”
Toni mengangguk dan mulai berjalan ke depan kelas dengan malu-malu.
“Ng.. Selamat pagi teman-teman.. Aku mau cerita tentang berladang.. Ng.. Kakekku adalah seorang petani.. Ng.. Kemarin Kakek mengajak...~”

Toni, seorang anak lelaki pemalu yang senang berdongeng. Tetapi berani bercerita hanya kepada boneka-boneka yang tersusun di belakang kelas.

Setelah semua anak bercerita ke depan, giliranku untuk bercerita.
Aku menceritakan tentang liburanku.
Dalam waktu dua minggu, yang Aku lakukan setiap hari ialah ke taman kota dekat sekolah ini dan mulai melukis.
Aku suka melukis.
Aku ingin mengajarkan kepada mereka tentang ekspresi dalam setiap lukisan.
Ah, bukan. Bukan mengajarkan mereka paham realisme, atau naturalisme, atau impresionisme dan teman-temannya. Tetapi memberitahu mereka bahwa, melukis bisa menyalurkan ekspresi. Daripada melakukan hal yang lainnya yang cenderung buruk, lebih baik salurkan ke hal lain yang lebih baik, melukis misalnya.

Tidak terasa, jam pulang sudah datang.
Setelah menutup sesi pembagian nilai tentang tugas ketika liburan, Aku mengucapkan selamat jalan dan sampai bertemu lagi kepada Anak-anak didikku.

“Pak Yoga, di panggil Ibu Kepala Yayasan.”
“Iya, baik Bu Nur.”
Aku menghentikan kegiatan membereskan catatanku dan sesegera mungkin menghapus papan tulis yang penuh dengan corat-coret.

TOK-TOK-TOK..
“Ibu, memanggil Saya?”
“Masuk Pak Yoga. Silahkan duduk.”
“Terima kasih Bu.”
“Pak Yoga yakin, akan melanjutkan bekerja disini?”
“Yakin Bu.”
“Apa tidak sayang, Pak Yoga sudah diterima mendapatkan beasiswa ke Jerman tetapi tidak diambil?”
“Tidak apa-apa Bu. Nanti Saya bisa mengajukan lagi.”
“Kalau boleh Saya tahu, kenapa Pak Yoga tidak jadi pergi?”
Aku hanya tersenyum.
“Ada hal yang belum selesai disini Bu. Jadi belum bisa pergi.”
“Oh begitu. Tapi Pak Yoga pintar sih, Saya yakin nanti kalau daftar lagi dan sudah siap, pasti dapat beasiswa lagi.”
“Terima kasih Bu.”
“Ya sudah kalau begitu. Selamat menjalankan tugas lagi ya Pak Yoga.”
“Iya, terima kasih Bu. Jika tidak ada hal yang lain, Saya permisi.”
“Silahkan.”

“Yoga!”
Aku mencari arah suara.
“Rona?! Ina?! Hai..”
Aku berjabat tangan dengan keduanya. Mereka adalah orang tua Dita.
“Kita kemaren ngomongin Kamu loh. Enggak jadi ngambil beasiswa itu ya?”
Aku tersenyum.
“Kita denger kok ceritanya. Masa lalu Ga. Kita sekarang harus belajar lebih dewasa.”
“Sayang, enggak usah sok dewasa. Bukannya semangatin Yoga, malahan diledekin.”
Ina memukul pelan tangan suaminya.
“Gimana kalau hari ini Kamu ke rumah Kita? Nanti Aku masakin tongseng kesukaan Kamu deh.”
“Iya, Ga. Ikut ke rumah yuk. Kita ngobrol-ngobrol sekalian.”
“Makasih ya guys. Tapi masih ada tugas nih. Belum selesai. Kayaknya pulangnya sore. Makasih loh atas tawarannya. Mungkin bisa lain kali..?..”
“Bisa banget Ga. Ya udah. Kita duluan ya Ga.”
“Pak guru Om, Aku pulang dulu ya.. Dadaaaah..”
Dita menyalami tanganku. Karena Aku adalah Gurunya dan teman orang tuanya, Dia suka memanggilku Pak guru Om.
“Iya, hati-hati ya cantik..”

Aku kembali ke kelasku setelah banyak melambaikan tangan kepada Anak-anak didikku yang berpamitan pulang di jemput orang tuanya.
‘Ada yang belum selesai? Urusan apa? Ha.. ha.. ha..’, ucapku bebisik sinis.
Aku memandang ruang kelas ini. Kosong.

‘Aku pengen Kamu jadi guru TK’
‘Kenapa?’
‘Biar nanti anak kita semangat sekolah. Karena bisa ketemu sama Papahnya.’
‘Cuma karena itu?’
‘Iya. Pokoknya harus.’
‘Oke.. oke..’

‘Aku enggak suka Kamu pakai baju garis-garis itu.’
‘Loh? Kenapa?’
‘Ngingetin sama Zebra. Aku enggak suka sama Zebra.’
‘Oke.. oke..’

‘Aku enggak suka Kamu asik terima telepon ketika bareng Aku.’
‘Kenapa?’
‘Bisa enggak sih, Kamu enggak nanya ‘kenapa, kenapa’ terus?!’
‘Tapi itu kan kerjaan..’
‘Pokoknya AKU ENGGAK SUKA!’

Indah.. Namanya tidak sesuai dengan sifatnya, kurasa.
Aku menjalani hubungan sudah 3 tahun.
Karena Aku tergolong manusia yang cuek, keposesifan Indah rasanya masih bisa Aku izinkan.
Ketidaksukaannya, kecemburuannya, larangan-larangan ini dan itu, semua masih bisa Aku jalani.

‘Besok siang kita ketemuan di tempat biasa ya.’
‘Sepulang kerja Aku ya. Eh, Tumben harus janjian dulu? Biasanya hari kerja sibuk banget, sampai weekend juga enggak bisa ketemuan.’
‘Udah deh, enggak usah ngegoda. Enggak lucu tau! Udah ah, sampai besok. Bye!’
Indah menutup telepon duluan.

Sudah enam bulan ini Dia dingin.
Walau masih melarang ini dan itu, tetapi tidak semanja dulu.
Mungkin kerjaannya sekarang membuatnya menjadi dewasa.
Dia adalah seorang sekretaris di sebuah perusahaan ternama di kota ini.
Kepintarannya itulah yang membuatku jatuh cinta.

‘Kenapa sih, Kamu tetap menjadi seorang guru TK?’
‘Hah? Kan biar Aku bisa ngajarin anak kita nanti’
‘Kan enggak harus jadi guru TK. Kamu cerdas loh. Kamu dapat beasiswa ke Jerman. Kamu bisa terusin S2 disana. Kan bisa jadi dosen, atau apa kek’
‘Kamu enggak inget pas kita kuliah Kamu yang minta Aku untuk jadi guru TK?’
‘Tapi Kamu kan laki-laki. Harusnya Kamu bisa dong ngatur Aku. Tolak kek, apa kek.’
‘Kamu kenapa sih? Tiba-tiba emosi gini?’
‘Kok Kamu bilang Aku emosi?! Kamu berubah! Kamu dulu enggak pernah marah-marah sama Aku!’
‘Hah? Apanya? Aku enggak marah loh ini. Aku nanya.’
‘Udahlah! Kita udah enggak cocok. Kita putus!’
‘Kok? Tapi..~’
‘Aku mau pulang! Bye!’
‘Indah...’

Indah pergi meninggalkan Aku di kursi kesukaan Kami berdua.
Entah mengapa rasanya diri ini tidak ingin mengejarnya dan meminta penjelasan ini dan itu.

TOK-TOK-TOK..
“Ya.. sebentar.. Ya..?..”
“Dengan Bapak Yoga?”
“Iya, Saya.”
“Ini ada kiriman dokumen. Tanda tangan disini Pak.”
“Terima kasih ya Mas.”
Kubuka. Undangan pernikahan Indah dengan Jeremy, teman kantornya. Bosnya. Atasannya. Orang yang selalu Dia ceritakan dengan bangga.
Baru saja kemarin Kami putus.
Bahkan baru saja 18 jam lalu.
Belum 24 jam.
Belum hitungan hari.

Aku membolak-balikan undangan itu. Membaca dengan teliti. Berharap ada kesalahan pada nama mempelai atau foto mempelai. Tapi semakin teliti, semakin tidak percaya. Karena itu nyata. Itu nama Indah-ku yang kupercayakan hatiku. Indah-ku yang kujalani 3 tahun tanpa pertengkaran karena Aku malas bertengkar untuk hal remeh. Iya, itu adalah Indah.

Ingin rasanya Aku mendatangi rumahnya dan bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Tapi kuurungkan.
Aku membatalkan tiket pesawat yang ku beli. Membatalkan mimpi bersekolah di Jerman. Membatalkan meneruskan S2. Membatalkan pengunduran diri dari tempat mengajarku.

Indah tidak harus menjadi bagian dari mimpiku lagi.
Toh selama ini Dia mempersiapkan pernikahannya dengan orang lain ketika Dia bersama denganku.
Indah, tidak selamanya Indah.

_rdmw_

Tuesday, September 15, 2015

Cerita lain tentang pesan-antar

“Selamat malam, Healthy Chicken dengan Rosi ada yang bisa di bantu?”
“Malam mbak, Saya mau pesan.”
“Dengan siapa Saya bicara?”
“Saya Alga”
“Oke mbak Alga, ada nomor lain yang digunakan selain nomor ini?”
“Cuma ini aja mbak.”
“Baik. Mbak Alga alamat masih di jalan serayu nomor 60?”
“Iya mbak, masih.”
“Baik mbak Alga, pesanannya silahkan.”
“Saya pesan paket combo dua nya lima ya mbak.”
“Paket combo dua, green chicken satu, nasi satu, perkedel kentangnya satu dan lemon tea nya satu, lima paket. Ada tambahan lain mbak?”
“Sama susu coklatnya dua.”
“Susu coklat dua. Ada lagi?”
“Sudah.”
“Baik. Saya ulangi pesanannya ya. Paket combo dua nya lima buah ditambah susu coklatnya dua buah. Totalnya seratus dua puluh tiga ribu sudah dengan ongkos kirim. Membayar menggunakan pecahan berapa mbak? Biar nanti kami siapkan.”
“Dengan seratus ribuan mbak.”
“Dengan seratus ribuan, pengiriman sekitar 15 sampai 30 menit. Tidak apa-apa?”
“Silahkan mbak.”
“Ada lagi yang bisa kami bantu mbak Alga?”
“Itu aja dulu. Terima kasih mbak.”
“Terima kasih sudah menghubungi Healthy Chicken. Selamat malam.”
“Malam”

“Raaaaf, pesanaaaan..”
“Iya.. sebentar..”
“Jalan serayu nomor 60. Atas nama Mbak Alga. Rumahnya warna biru muda kedelapan dari jalan, ketiga dari pojok belokan yang mau ke mini market.”
“Wah... Mas Ibnu sampai hapal gitu”
“Langganan Raf. Sekitar sebulan sekali pasti ada nelepon pesen Healthy Chicken.”
“Oooh.. Oke deh. Pergi dulu mas.”

15 menit kemudian..
Tok.. Tok.. Tok..
Tidak lama, pintu abu-abu itu terbuka.
“Selamat malam.. Kami da..”
“Ya..”
“Maaf. Kami dari Healthy Chicken  mengantarkan pesanan atas nama Mbak Alga..?..”
“Iya, Saya sendiri.”
“Ini mbak, pesanannya. Combo dua nya lima..Totalnya seratus dua puluh tiga ribu rupiah.”
“Hmmm.. Susu coklatnya mas?”
“Oh iya maaf. Susu coklatnya dua ya mbak.”
Wanita itu tersenyum. Manis..
Sambil menyerahkan uang dua lembar seratus ribu, dia meletakkan pesanan diatas meja ruang tamu.
“Kembaliannya tujuh puluh tujuh ribu rupiah ya mbak. Ini silahkan..”
“Iya terima kasih mas..”
“Eh, Saya Rafa..”
Alga tersenyum.
“Terima kasih mas Rafa”
Rafa menjabat tangan Alga.
Terdiam dan terhening.
“Maaf mas Rafa..”
“Iya. Maaf mbak Alga.. hem.. ada lagi yang bisa Saya bantu?”
Heningnya Rafa membuat Alga harus menegurnya agar melepaskan tangan Alga.
“Enggak kayaknya. Terima kasih ya..”
“Kalau begitu, selamat malam.. Mbak.. Alga..”
“Iya..  Selamat malam Mas Rafa”

Alga menutup pintu.
Rafa sudah menaiki motornya dan terdiam menatap pintu rumah Alga.
Membayangkan Alga tersenyum di depan pintu.
Dan membalas tersenyum, seolah itu nyata.
"Sampai jumpa bulan depan", ujar Rafa berbisik.
Ya, Rafa menikmati senyum Alga dan menyukainya sejak pertama.
_rdmw_

Tuesday, September 8, 2015

Cerita lain tentang Kita

“Kenapa enggak dateng sih? Dia temen kecil kita loh.”
“Enggak ah. Enggak deket”
“Halah, bilang aja males ditanya ‘kapan nyusul’ kan?”
“Hehehe. Lagian baru bangun. Ngerti lah.”
“Katanya baru bangun, tapi kenapa udah nongkrong disini? Rumah orang lagi!”
“Duh.. Galaknya. Berapa orang yang nanya kapan nyusul?”
“De-la-pan. Dua lagi dapet gelas.”

Dia merengut. Aku suka melihatnya merengut.

“Mau ditambahin enggak? Biar deket ke sepuluh terus bisa dapet gelas?”
“Oh. Mau dibuang ke rawa-rawa?”
“Hahaha... Terus kenapa enggak bawa pasangannya?”
“Pasangan yang mana? Yang dua bulan? Yang seminggu? Yang setahun? Yang..~”
“Yang belum bisa move on.. ?..”

Dia diam seketika.
“Yang belum bisa move on udah ditelen sama t-rex.”
“Enak aja!”
“Yeee.. memangnya ngomongin situ?”

Ada jeda 5 detik diantara Kami.
“Masih suka ya?”

Dia tidak menjawab.
Matanya menatap lurus ke depan.
***
Kami satu sekolah.
Satu kelas bahkan.
Dari mulai mengenakan seragam putih-merah hingga putih-abu-abu Aku mengenalnya.
Hingga tahun lalu Aku pindah tempat tinggal.
Orang tuaku membeli rumah sedikit lebih ke tengah kota.
Jadilah Kami bertetangga.

Hingga akhirnya Kami beda tempat kuliah. Dia mengambil jurusan Bisnis Menejemen dan Aku jurusan Seni Rupa.

“Tante, Aku mau ngambil buku gambar, kemarin ketinggalan di kamar Mia.”
“Kamu langsung ke kamar Mia aja deh, Dion, Mia nya belum pulang, ini tante tanggung lagi masak.”
“Oke, Tante.”

Kamarnya minimalis.
Ini tempat favoritku.
Semenjak Kami bertetangga, Aku suka sekali bermain disini. Terlebih Papahku dan Papahnya satu kantor.

Aku mengacak-acak kamarnya.
“Marah Dia pasti kalau berantakan gini. Dimana ya bukunya?”
Aku sibuk mencari kesana-kemari.
Dia memang apik.
“Aha! Ketemu.. Eh..”

Buku biru.
Biru, adalah warna kesukaannya.
Buku itu tidak sengaja jatuh bersamaan dengan ketika Aku menarik bukuKu.

“Lelaki itu mulai suka menggangguku.
Tapi Aku tidak merasa risih sama sekali.”

Wah.. Menarik..

“Dia tidak tau. Aku pun tidak tau.
Aku bersamanya ketika hatiKu memilih orang lain.”

Tanpa terasa jariku tetap membuka lembaran catatan singkat dengan tulisan tangan Mia.
Ini semacam buku harian, tetapi tidak terlalu rinci seperti buku harian kebanyakan.
Aku tahu, karena dulu ketika SD pun Aku memiliki buku harian, walaupun Aku seorang lelaki.

“Ingin rasanya aku berteriak di telinganya.
Tapi Aku tidak ingin merusak semuanya.”

Sepertinya Mia bukan seorang penulis yang rajin.
Rasanya dia menuliskan hanya beberapa kalimat setiap satu tahun sekali.

“Iya, Aku tau. Aku menyukainya sejak pertama.
Sejak insiden sepatu itu..”

Eh, tunggu...
Aku berkenalan dengan Mia karena Aku mengenakan sepatunya setelah ganti baju olahraga.
Aku dengan seenaknya mengambil sepatu yang bukan miliku.

“Raganya kini lebih dekat.
Aku bisa melihatnya kapanpun Aku mau.”

Kenapa..?..

“Dia tidak akan pernah melihatKu seperti Aku melihatnya.
Ya, Aku menyadari hal itu.”

Rasanya..

“Dia mengajariku membuat pie kentang, kesukaannya.
Yang juga menjadi kesukaanku, karena Dia.”

Pie kentang? Favoritku.

“Mamah bikin kue tuh, disuruh ke bawah. Kamu lama banget nyari bukunya?”
“Eh, iya. Iya.”
“Udah ketemu?”
“Iya, udah. Yuk ke bawah.”

Walau buru-buru Kuletakkan buku itu, tapi Aku rasa Dia tidak melihat Aku membaca catatannya.

Setelah berbincang dan menghabiskan kue buatan Mamahnya, Aku berpamitan pulang.

“Aku pulang dulu ya. Besok ada kuliah pagi nih. Bangunin dong...”
“Kamu pikir Aku jam weker? Bangun sendiri lah. Hape ada alarm nya loh.”
“Jadi enggak mau?”
“Hih! Ya udah, iya.”
“Gitu dong hehe”
“Terus...?”
“Apanya?”
“Terus, udah selesai baca catatan Aku nya?”

Aku terkejut. Dia tahu.
“Kamu liat?”
“Iya”
“Maaf ya. Tadinya penasaran. Terus kebaca banyak. Jadi makin penasaran”
“Kalau kebaca itu lebih ke enggak sengaja loh”
“Eh, iya maksudnya dibaca dengan sengaja. Hem. Itu... Aku?”
“Iya”

Dia melihatku sambil tersenyum simpul.

“Sejak kapan?”
“Tujuh tahun lalu..”
“Kenapa enggak bilang?”
“Enggak bisa di bilang Kamu enggak tahu ya. Temen-temen Kamu tahu juga kayaknya.”
“Aku pikir... Kamu bercanda.”

Dia menatap langit.
Kami terdiam beberapa detik.
“Ya udah sana pulang. Katanya besok minta di bangunin pagi.”
Dia mendorongku dari belakang.

“Aku..~”
“Enggak udah dipikirin terlalu dalam lah. Kamu enggak usah ribet mikirin perasaan orang lain. Sana masuk rumah. Byeee..”

Sesampainya di kamar, Aku berpikir.
Rasanya menjadi aneh.
Entahlah, Aku pun tidak tahu apa yang aneh.
Rasanya ada yang mengganjal di hatiku.

Jadi, selama ini Dia menyukaiku.
Dulu ketika SMA memang ada kabar bahwa Dia menyukaiku.
Hanya saja tidak Aku gubris.
Kupikir Dia hanya menggodaku. Karena Aku juga suka menggodanya.
Tapi ternyata..
***
Kejadian itu sudah setahun lalu.
Aku masih sedikit canggung jika dekat dengannya.
Tapi Dia masih bersikap biasa seperti tidak pernah ada kejadian apapun.
Sedikit tertolong dengan Aku yang dapat part-time di sebuah toko buku, jadi ada kesibukan dan tidak memikirkan kecanggungan itu.

“Eh, mau semur daging enggak?”
“Aduh, Aku masih kenyang. Kan baru dari kondangan.”
“Aku laper nih. Temenin makan yuk.”
Aku menarik tangannya untuk mengikutiku ke rumahku dan menemaniku makan.

Aku makan dengan lahap di ruang tengah.
Dia menemaniku sambil menonton televisi.

“Aku mandi dulu ya.”
“Tumben?”
“Hehe..”

Selesai Aku mandi, Dia sudah tidak ada di rumahku. Mungkin pulang.

Dan ketika akan pergi, Aku melihatnya yang akan masuk ke rumahnya.
“Aku mau kerja dulu.”
Sebelum Dia bertanya, Aku menjelaskan terlebih dahulu.

“Kita....”
Aku mendengarkan suaranya yang sangat pelan.
“Kita kan enggak ada apa-apa.”
“Oh. Iya. Kita memang enggak ada apa-apa.”
Dia membalikan badannya untuk masuk ke rumah.
Aku melihat badannya sedikit bergetar.
Kurasa Aku salah berbicara.
Aku tarik lengannya, “Tapi bukan berarti Kita enggak bisa ada apa-apa.”
Dia menatapku.
Mungkin ini saatnya Aku memulai hal baru dengannya.

_rdmw_