Saturday, November 17, 2012

Ikhlas itu sulit, tapi kalau itu yang terbaik?

Halo Bubbly-Blog.
Rabu kemarin semacam mendung ya. Bukan hanya mendung dicuaca, tapi entah kenapa, mendung dihati saya juga..
Saya mau berbagi cerita.
Awalnya saya entah mau menceritakan bagaimana tentang hal ini. Dan saya mengurungkan niat buat menceritakannya.
Tapi.. ya itulah.. terkadang keadaan mampu mengubah sesuatu.

Saya terlahir sebagai seorang anak TNI angkatan darat. Dengan Ayah saya yang masih aktif sampai dengan postingan ini ditulis.
Sebagai seorang anak tentara yang dituntut untuk mandiri sedari kecil, saya tercipta sebagai gadis yang mandiri.
Menjalani kehidupan selama 22 tahun, saya 'dipaksa' (boleh deh ya, saya bilang begitu) untuk memiliki kemampuan bisa betah dimana saja.
Semacam kehidupan manusia zaman purba, nomaden.

Perjalanan pendidikan saya dimulai dari memiliki 1 TK (TK Kartika Siwi - Cimahi, yang kemudian gurunya menyerah dan mengirimkan saya ke kelas 1 secepatnya), 3 buah SD (SD Purnama - Cimahi, SD Banjarsari - Bandung, lulus di SD 001/Teladan - Pekanbaru), 2 buah SMP (SMP 001 - Pekanbaru dan lulus di SMP 4 - Bandung), 1 buah SMA (SMA 23 - Bandung) dan 1 buah perguruan tinggi (STIE EKUITAS YKP PT BANK BJB. Semoga masih nambah ini. Mau menganyam pendidikan lagi, tapi gak usah pake sidang. Bisa gak sih? heu)

Bisa dibilang saya sudah terbiasa untuk menjadi anak baru. Dengan perkenalan diri lagi, punya temen lagi, dapet sahabat lagi, dadah-dadahan lagi, perkenalan diri lagi, temenan lagi, sahabatan lagi, begitu seterusnya.

Sampai pada tahun 2001 (kalau gak salah. Apa 2002 ya? Lupa saya). Diputuskanlah saya kembali melanjutkan pendidikan di Bandung (itu saya kelas 2 SMP).
Dengan dadakan kembali ke rumah tinggal, persiapan yang gak mateng karena memang gak direncanain tinggal disini (niatnya cuma liburan seminggu doang), selama 3 bulan saya gak sekolah. Jadinya cuma les Matematika dan Fisika (dan tetep gak suka sampai sekarang 2 pelajaran itu -.-")

Sampai pada kejadian 2008..
Hidup saya berubah.
Gak berubah sih, cuma sampai sekarang tetap banyak menciptakan kepalsuan.

Saya, tipikal orang yang risih kalau diliatin saat saya sedang melakukan sesuatu. Jadi, kalau pekerjaan rumah semacam beres-beres gitu, saya lakukan kalau malam. Saat semua orang sedang sibuk sama mimpi mereka.

Termasuk di malam itu..

Saya menyelesaikan setrika-an jam 3 pagi (karena mulai jam 1). Dilanjut tidur dengan sakit punggung.
Sekitar jam 10-an, nenek saya membangunkan saya.
Katanya ada sesuatu yang tidak beres dengan kondisi Ibu saya.
Kala itu, Ibu saya memang sedang sakit.

Setelah kaget membuka mata, saya langsung buru-buru ke kamar Ibu.
Nenek saya cerita sampai cemas, kalau pagi padahal baik-baik aja. Masih sempet bikin teh, ngobrol, ngurus bunga-bunga, tapi setelahnya tidur lagi, dan sampai jam segitu gak bangun-bangun aja.

Diputuskanlah Ibu dibawa ke Rumah Sakit.
Dan sampai sana ternyata sudah tidak sadarkan diri.
Saya belum pernah sebelumnya masuk rumah sakit, belum tau gimana rasanya itu hidung dimasukin selang oksigen dan banyak hal sehingga menyebabkan orangnya pabaliut sama selang (-.-")
Setelahnya, Ibu dipindah ke ruang ICU atau UGD.

Dan selebihnya, saya menunggu.
Menunggu, tentu saja ada kata melamunnya.
Saya teringat, malam sebelumnya masih ketawa-ketawa sama Ibu.
Karena Ibu udah gak kuat makan nasi, saya belikan bubur instan. Cukuplah untuk persediaan beberapa hari.
Dan saya gak pernah kepikiran kalau saat itu, saya duduk di UGD nungguin Ibu yang terbaring lemah.

Di UGD itu, ada 2 buah kasur.
Kasur disebelah diisi oleh seorang lelaki, yang sudah dikelilingi oleh keluarganya yang penuh isak tangis.
Kala itu, saya sedang sendirian (saya lupa si bangke dimana).

Rasanya..
Sedih..
Setiap hal seharusnya jangan dipikirkan secara negatif. Tapi saat keadaan saya seperti itu, tentunya saya gak tau harus berpikir apa. Yang ada perasaan saya semakin takut. Takut kalau hal itu menimpa Ibu.

Gak berapa lama kemudian, setelah ada Dokter Senior yang memeriksa Ibu, Ibu dipindah ke ruangan atas,  IGD mereka menyebutnya.
Disana ada sekitar 8 kasur (kalau gak salah). Dengan satu meja besar dibagian dalam terletak ditengah yang ditempati oleh beberapa perawat sekaligus.
Sedikit lebih tenang memang, tetapi, selang 2 buah kasur dari bagian kanan Ibu (kasur sebelah Ibu kosong), ada seorang perempuan paruh baya yang kondisinya mulai memburuk. Dan perempuan itu dilarikan langsung kebawah, ke bagian UGD.

Entah mengapa, saat itu saya berpikir, "Astaghfirullah Ya Allah, udah 2 orang. Jangan dulu ya Ya Allah, Risma belum lulus kuliah. Belum siap"
Di IGD itu ternyata punya aturan. Diluar jam besuk, semuanya serahkan pada perawat yang ada di dalam. Keluarga diminta untuk menunggu diruangan sebelah yang sudah disiapkan khusus untuk yang akan menunggu.

Saya, keluar, menunggu dengan keluarga pasien yang lain. Sendirian? tentu aja. Kakak saya waktu itu ngurus-ngurus segala administrasi yang dibutuhkan juga menghubungi keluarga yang di Pekanbaru.
Dan saya sendirian.
Saking saya gak tau saya harus apa, saya sms-an sampai cekikikan sama teman saya.
She said : "maneh teh geuring?! Kamu lagi dirumah sakit Ma, nungguin Ibu"
Trus saya harus apa? Nangis sesenggukan sampai ada yang ngebujuk biar diem? Atau gulingguling sampai capek? atau marah dan banting ini dan itu? atau terjun dari lantai 2?

Setelah capek menunggu, giliran saya yang siap-siap untuk pulang.
Saya udah punya rencana, dihari itu saya pulang kerumah, berkemas, ke rumah sakit, ke kampus mencatat jadwal kuliah (kala itu saya akan memulai semester pendek), nginep di rumah sakit, dan berangkat kuliah keesokan harinya dari rumah sakit.

Saya pulang jam set 2 pagi diantar oleh sepupu saya dengan menggunakan motor.
Udara dingin menusuk.
Jl. Soekarno-hatta yang selalu padat oleh kendaraan beroda 4 juga beroda 2, tengah malam sangat sepi. Mungkin saya bisa saja tiduran ditengah jalan.
Hal yang ingin saya lakukan sampai rumah, hanyalah mandi.
Menyegarkan badan juga kepala. Biar saya bisa berpikir jernih ditengah kondisi yang memaksa untuk berpikir yang tidak jernih.

Saat saya sampai rumah, saya lihat kondisi nenek.

Sekitar 2 bulan sebelum kejadian itu, nenek saya berkunjung ke Bandung.
Mungkin kangen dengan Ibu, jadi beliau mau liburan di Bandung saja.
Hampir setiap hari mereka ke pasar.
Ngobrol dipagi hari sambil minum teh di bangku belakang, dan masak bersama, sudah menjadi pemandangan sehari-hari.

Kasihan nenek. Beliau kan inginnya menghilangkan pikiran-pikiran berat selama disini. Tapi sekarang malah dituntut memikirkan hal yang terjadi secara tiba-tiba.

Sesuai dengan yang saya katakan tadi, saya hanya ingin bercengkrama dengan air, menjernihkan pikiran dan mendinginkan kepala.

Sekitar 10 menit saya masuk ke kamar mandi, saya sedikit mendengar keriuhan diluar.
Rasa penasaran yang muncul, membuat saya mengintip dari balik pintu kamar mandi.

Sepupu saya yang mengantarkan saya pulang (lalu kembali ke rumah sakit lagi), balik ke rumah. Saya lihat dia membawa segelas air dan menuju kamar belakang, dimana nenek tidur disana.

Entahlah ada apa.
Perasaan saya sudah tidak merasakan dekdekan, takut, apalagi sedih. Karena sudah mati rasa, saat tau Ibu saya masuk rumah sakit dengan kondisi tidak sadarkan diri.

Saat akan membilas badan, pintu kamar mandi diketuk,
"Nak, masih lama?"
"Sebentar lagi ya om. Ini tinggal ngebilas."
"Iyalah. Cepat ya nak."
Saya masih ingat nada suara itu.
Lembut, pelan dan hati-hati.

Setelah mengenakan baju, saya menuju kamar belakang.

Saya melihat nenek sudah terduduk lemah diatas tempat tidur dengan berlinangan air mata.

"Dek.. Riris yang sabar ya nak."
Saya hanya diam.
"Ibu kita sudah ndak ada lagi nak."
Saya pandang mata Om saya, dan saya tersenyum.
Senyuman yang mampu saya tahan hingga detik ketiga, dan kemudian air mata saya jatuh tanpa diperintah.

Apa saya percaya?
Tentu saja tidak.
Tapi untuk apa Om saya memberi kabar main-main?
Ini tentu saja bukan hal yang lucu untuk dijadikan lelucon.

Sampai terdengar pengumuman di mesjid dengan menggunakan pengeras suara, memberitahukan bahwa Ibu saya.. Meninggal.. Lengkap dengan tempat dan waktunya.

Nenek saya histeris, dan saya berusaha menenangkannya.
Saya masih belum percaya.

Beberapa menit kemudian, pintu belakang rumah diketuk,
dan saya melihat banyak rekanrekan komplek ke rumah untuk membantu membereskan ruangan depan, karena nanti jenazah akan diletakan disana.

"Dek, yang sabar ya. Ini yang terbaik dari Allah. Dari pada kita ngeliat ibu sakit terusterusan? Kasian kan. Ikhlasin ya dek."

Apa saya percaya?

Dan ada beberapa tetangga yang datang dan meng-handle nenek saya.
Lalu saya?
Saya berjalan ke ruangan depan, dan melihat orangorang yang mengeluarkan perabotan.

Mereka memandang saya, dan saya tersenyum.
Itu yang saya ingat.

Saya kembali melamun.
2 Hari sebelum kejadian ini, saya masih beli eskrim dan makan dengan Ibu saya.
Dan sehari sebelumnya, Ibu saya berkata,
"Dek, malam ini tidur sama Ibu yuk"
"Gak deh Bu"
"Ayolah nak"
"Nanti aja deh yaaa."

Dan saya menyesali kenapa tidak saya iya-kan.
Karena itu terakhir kalinya Ibu meminta saya tidur dengannya.

Jenazah Ibu datang menggunakan ambulan.

"Dek, kuat gak? Jangan sampai air mata kena jenazahnya ya. Kuat gak?"

Wajahnya pucat.. Seperti daging yang dikeluarkan dari freezer.. Ibu kaku..

Saya mencium keningnya.
Dingin.
Apa saya percaya?

Pagi itu saya memang berkemas. Memasukan beberapa pakaian. Tapi bukan ke tempat yang sudah saya rencanakan.
Saya berkemas untuk pulang ke Pekanbaru, karena Ibu akan dimakamkan disana.
Sudah tidak ada lagi yang bisa saya lakukan.

Entahlah rumah saya siapa yang mengurusi, yang pasti saya dan beberapa keluarga yang ada di Bandung, berangkat menuju jakarta saat itu juga. Sedangkan nenek, ayah dan jenazah ibu menyusul menggunakan pesawat entah apa namanya dan entah berangkat darimana karena ayah saya yang mengurus.

Setengah 1 siang, saya sampai di rumah nenek di Pekanbaru.
Tidak tidur 2 hari semalam, mata bengkak, membuat badan saya lemas.
Saya tidur dan langsung memimpikan Ibu. Sudahlah tidak usah saya ceritakan apa isinya.
Dan bangun saat jenazah sudah datang.

Rumah nenek sudah sangat ramai dengan sanak saudara.
Ya, hampir seluruh keluarga pihak ibu semuanya tinggal di Pekanbaru dan sekitarnya.
Ditengah keberisikan itu, saya merasa hening.
Mungkin begitu rasanya adegan di komik atau salah satu scene film, saat pemerannya melihat sesuatu dan semuanya hening, padahal dia ada ditempat yang ramai dan berisik. Dan saya merasakannya.

Rasanya.. Hampa..
Ya, bisa dikatakan demikian.

Saya mencium kening Ibu untuk yang terakhir kalinya.
Lalu tangis saya pecah.
Setelah meninggalnya Ibu beberapa jam yang lalu, ini untuk pertama kalinya tangis saya pecah. Saya meraung di kamar nenek dengan ditenangkan oleh beberapa saudara saya.
Air mata saya gak berhenti.
Saya menangis seperti anak kecil yang manja.

Entah berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk air mata itu 'kering'.
Hingga prosesi pemakaman selesai.
Berat rasanya saat kaki meninggalkan raga Ibu disana. Sendiri.
Mungkin Ibu gak sendiri, ada datuk, ada andang, ada papa, ada saudara-saudara yang lebih dulu nunggu di sana.

"Dek.. Ibu kalau meninggal, pokoknya dikuburnya di Pekanbaru ya. Kalau adek?"
"Ya bareng aja, memang gak cukup ya Bu, kalau satu tempat berdua?"
dan tawa kami membahana.

Air mata saya tetap turun sampai saat saya berada dirumah.
Ngalir aja gitu, dengan sendirinya.
Yang saya pikirkan bukan hanya untuk saat itu. Tapi untuk seterusnya.
Dan.. Apa saya percaya?

Hal yang membuat saya kesal adalah..
Saya sampai rumah saat pulang dari rumah sakit jam 01.30 WIB.
Dan Ibu menghembuskan napasnya yang terakhir pukul 02.13 WIB.
Hanya 43 menit. HANYA 43 MENIT!! Kenapa saya gak bisa menunggu selama itu?!?!

Teman saya bilang, "Itu artinya, Ibu gak mau ngeliat kamu sedih Ma."

Kejadian itu berlangsung disaat tanggal cantik 06-07-08. Bagus kan?

Disatu sisi, saya gak mau Ibu merasakan kesakitan saat semua selang itu masuk ke tubuhnya.
Tapi disisi lain, saya gak terima. Ibu belum ngeliat saya bertoga, Ibu belum ngeliat saya aktif di organisasi seperti yang beliau minta, Ibu belum merasakan gaji pertama saya, Ibu belum meneteskan air mata bahagia untuk saya, dan masih banyak lagi sanggahan yang mau saya utarakan.
Tapi.. saya juga gak cukup mampu untuk ngelihat Ibu ngerasain sakit, ngerasain susah jalan karena kakinya bengkak, ngerasain darah yang mengalir setiap kali bangun tidur, terlalu sering capek hingga tinggal solat. Ibu, seseorang yang setiap malam bangun untuk solat tahajud, bisa sampai gak bangun saat waktunya solat wajib, karena terlalu lemah untuk bangun, itu pasti sudah merasakan sakit yang luar biasa.

Mungkin Tuhan punya jalan terbaik.
Ah, bukan. Tuhan memang selalu tau yang terbaik.
Ini jalan Tuhan, dan Tuhan memilih untuk sayang sama Ibu, hingga Ibu diminta untuk bersama-Nya, menunggu saya.

Rencana Tuhan, selalu sempurna.

Salam dari Bandung ya Bubbly-blog,
Sabtu, 17 November 2012
Risma Dwi MW

Sudah 4 tahun berlalu.
Dan apa saya percaya?
=)

No comments:

Post a Comment