Friday, December 18, 2015

Cerita lain tentang pembalasan

“Eh, Nya, kemaren Aku liat David di Cafe Tengah. Bukannya itu tempat kesukaan Kita kalau kumpul kan ya?”
“David? Di CT? Oiya? Salah liat kali Ra.”
“Masa? Memang jauh sih duduknya dari tempat Aku duduk. Aku lagi rapat sih, jadi enggak bisa melipir liat lebih deket. Tapi mirip loh. Mirip banget”
“Muka Aku pasaran kali, Ra”

Rara dan Aku kaget ketika David datang tiba-tiba.

“Kamu tuh ya, ngagetin aja”, ucapku sambil mengelus dada.
“Kamu kaget Sayang? Aduh, maaf ya hehe”
“Pak Dono belum dateng, Ra?”
“Oh udah. Tapi tadi Dia Aku minta beliin batagor. Nah... itu dia.”
“OK. Bye Ra..”
“Bye Anya, bye David”
***
“Mbak Anya, kemarin Aku lihat Mas David loh.”
“Lah? Tempat kerja kaliankan satu daerah. Tentu aja Kamu liat Fi.”
“Eh, maksudnya Aku lihat Mas David lagi di toko. Kayaknya sama Adeknya. Soalnya manggilnya ‘Abang’. Tapi karena Aku lagi ngepak barang ya, jadi enggak bisa nyapa.”
David anak tunggal, dan kemaren Dia bilang keluar kota ketemu klien.
“Ya sudah ya Mbak Anya. Saya balik ke toko dulu. Nanti kalau ada buku baru, Saya kabarin. Kalau ada buku lagi yang mau Mbak Anya cari, kasih tau Saya ya. Nanti Saya carikan. Mari Mbak Anya”
“Siap Lefi, makasih ya.”

“Syg, gmn tugas luar kotanya? Lancar? Lefi bru ksini nganterin buku yg baru Aku psn.
Kmu jgn lupa mkn ya. Trus kpn plg?”
Aku harus konfirmasi ke David tentang siapa yang mengunjungiku. Itu sudah semacam peraturan tidak tertulis untuk Kami taati.
“Iya syg. Maaf ya, Aku gak bs ngehub kamu dulu. Bnyk bgt kerjaan Aku. Ini aja msih rapat.
Kmu jgn lupa mkn jg ya syg. Aku blum tau kpn plgnya. Nanti Aku kabarin lgi.”
David membalas pesan singkat yang Aku kirimkan padanya.
***
“ANYA!”
Rara melambaikan tangannya kepadaku.
Kami janjian makan siang bersama.
Rara dan Aku adalah teman ketika SMA.
Hanya sebatas kenal saja.
Ketika Aku bekerja dikantorku yang sekarang, Aku bertemu lagi dengan Rara di kantin kantor.
Kantor Kami satu gedung, tetapi beda perusahaan.
Jadi terkadang, jika David tidak bisa menjemput, Aku ikut pulang bareng Rara yang selalu dijemput oleh supirnya.
“Eh Nya. Ini serius ni ya. Kemarin Pak Dono, ketemu sama David di Warung Bakmi.”
“David? Di Warung Bakmi?”
“Iya. Pak Dono cerita. Kan Aku minta dibeliin Bakmi, terus pas Pak Dono kesana, ketemu sama David. Davidnya enggak ngeliat sih. Tapi Pak Dono yakin, itu David banget.”
“Enggak salah liat lagi kayak waktu Kamu itu?”
“Enggak kalau yang ini. Pak Dono itu supir kepercayaan, Nya. Enggak mungkin salah dan enggak mungkin bohong.”
“Yang bilang bohong siapa, Ra? Aku kan cuma bilang mungkin salah liat.”
“Soalnya..... David sama perempuan lain.”
“Kliennya David itu banyak yang perempuan. Dia selalu cerita kok ke Aku semua kliennya.”
Aku dengan santai menyuap Nasi Ayam yang kupesan.
“Hem.. Klien tapi kok suap-suapan?”
Kunyahanku terhenti.
“Suap-suapan?”
“Iya. Kata Pak Dono Mereka suap-suapan, Nya”
***
Di usiaku yang sekarang, sudah tidak cocok rasanya Aku mengamuk, menggalau seperti anak muda yang baru kemarin jadian dan deg-degan pasangan berselingkuh.
Kabar yang kudapat dari Rara kemarin, Aku telan begitu saja.
Aku berpacaran dengan David sudah hampir 9 tahun.
Aku sudah tau sifat jeleknya David. Dan tidak ada kata selingkuh di daftar itu.
Daripada Aku berdiam diri di rumah dan jadinya berprasangka buruk, di libur Sabtu ini, Aku memutuskan untuk sedikit berjalan-jalan ke taman.

Sekitar 3 meter di depanku ada pasangan kekasih Aku menyebutnya, karena Mereka mesra. Terlihat sekali sang pria sangat menyayangi sang wanita dari gaya Mereka berjalan. Aku menyukai gaya pria ini.
Entah mengapa Aku tersenyum-senyum sendiri melihat pasangan ini. Mengingatkanku pada Aku dan David ketika Kami berjalan berdua.
Tidak berapa lama, Mereka berbelok masuk ke sebuah tempat makan.

Mataku tertarik begitu saja, hingga membuat Aku terhenti di jendela, mematung.
Itu... David....
Tanganku meraih telepon genggam dan mulai menghubungi David.
“Ya sayang?”
“Kamu, masih rapat?”
“Iya nih. Kita enggak bisa ketemuan kayaknya. Enggak apa-apa ya, sayang.”
“Di hari libur pun Kamu masih rapat? Tapi suaranya kok berisik?”
“Iya sayang, rapatnya kebetulan diluar. Kenapa?”
“Rapatnya cuma berdua sambil rangkulan gitu ya?”

Aku berdiri dihadapan David.
Aku menatap matanya dengan dalam.
Kurasa David tidak memiliki wajah yang pasaran.
Semua orang yang mengira bertemu dengan seseorang yang mirip David merupakan David sendiri.
Dan Aku yang masih selalu beranggapan David adalah orang yang sama sejak Aku mengenalnya hingga masuk ke 9 tahun Kami bersama.
“Anya..”
Aku tersenyum dan membalikan badanku.
David mengejarku.
“Anya, Aku bisa ngejelasin..”
Aku berbalik.
“Aku kasih Kamu waktu 5 menit untuk ngejelasin.”
“Ini enggak seperti yang Kamu pikir..~..”
“David, ini bukan di sinetron. Manfaatkan waktu 5 menit Kamu dengan baik.”
“Aku minta Kamu untuk dengerin penjelasan Aku dengan baik. Intinya ini enggak seperti yang Kamu bayang..~..”
“Aku enggak butuh basa-basi Kamu. Kita udah enggak remaja lagi. Jangan bertingkah seperti aktor.”
David terdiam.
“Sudah berapa lama Kamu berselingkuh?”, lanjutku.
“Aku enggak..~..”
“Berapa lama, David?”
“7 bulan lalu.”

Oh. Sejak sibuknya David ke luar kota dan hampir setiap akhir Minggu selalu ada rapat.

“Kalau Kamu memang benar ingin bersama orang lain, kenapa Kamu tetap mempertahankan hubungan Kita?”
“Tapi Aku cintanya sama Kamu, Anya.”
“Kalau Kamu cinta, kenapa Kamu berhianat?”
“Karena Aku....
Kamu tidak pernah cemburu dengan apapun yang Aku lakukan. Itu bikin Aku jadi ragu sama perasaan Kamu..”
“Sudah sekian lama, dan Kamu ragu?
Ternyata Kamu tidak setau itu tentang Aku, David.
Karena kalau Kamu tau, tidak akan muncul keraguan itu.
Kita putus." Kukembalikan cincin pertunangan pemberiannya.
“Tunggu, Anya.. Aku..~..”
“Dan tolong, jangan bertingkah seperti drama cinta televisi. Dunia peran bukan kemampuan Kamu. Kamu hanya akan mempermalukan diri Kamu sendiri. 5 menit Kamu udah habis”, lanjutku memelankan suaraku sambil berlalu pergi.
***
Sejak itu, David selalu berusaha merebut hatiku lagi. Bunga, coklat, makanan, pesan titipan, telepon, buku, benda-benda kesukaanku, merupakan pemandangan sehari-hari yang tidak ku balas.
Yang perlu Aku ambil, selebihnya Aku kasih siapa saja yang kutemui, pengantar koran, pengantar pos, pengantar paket, asisten rumah tanggaku, supir Rara, siapa saja. Ya, siapa saja.

Semuanya terhenti di bulan ke 3.
Tidak ada lagi pengantaran barang ke rumahku.
Kurasa David sudah lelah dengan pemberian yang tak berbalas.
Atau..... mungkin juga David sudah menemukan orang lain.
***
“Anya.. Anya.. Anya!!”
“Apa sih Ra.. Panggilnya sekali juga cukuplah”
“Ada gosip loh”
“Gosip apa lagi? Ada yang ngirimin surat cinta ke Kamu lagi?”
“Ih bukaaan. David. Denger-denger Dia diselingkuhin sama pacarnya yang baru. Total berarti ada 2 orang yang nyelingkuhin Dia.. Aku kasian deh soalnya..~..”

Aku sudah tidak mendengarkan opini Rara lagi.
Di otakku terputar sebuah lagu.

“And word in the street is that she did to you what you did to me”
...
...
...
how does it feel to swim in your own tears?”
...
...
...
“Bang! She shot you!
Karma taste so sweet”


_rdmw_

Inspired by Christina Perri’s song : Bang Bang Bang

*I love this song btw

Thursday, December 17, 2015

Go-jek pertama

Aloha Bubbly-Blog *kiss

 

Saya mau menceritakan pertama kalinya Saya menggunakan aplikasi Go-jek yang terkenal banget itu.

 

Jadi gini..

Awalnya Saya ada janji ketemuan di pasar baru (bulan lalu).

Sebenarnya, biasanya Saya ke pasar baru menggunakan bis kota.

Sesederhana itu.

Tapi, entahlah mengapa Saya tergoda menggunakan aplikasi ojek online tersebut.

 

Sesuai dengan aturan dan cara, Saya berhasil memesannya. Dan beberapa detik kemudian, ada yang menghubungi Saya untuk konfirmasi tempat penjemputan (Saya mengambil layanan go-ride, takut ada yang belum tau).

 

“5 menit lagi sampai ya Mbak, Saya sudah ada di Supratman”

Begitulah kata Mas Go-jek yang janjian dengan Saya.

 

Setelah menunggu beberapa menit di depan komplek, kemudian ada Mas-mas nyampeurin,

“Ojek Teh?”

 

Dari penglihatan Saya, Mas-mas ini masih muda. Dari mukanya, kisaran umur 20 sekianan (zaman sekarang wajah bisa menipu umur btw), rambut gondrong sedikit ikal, menggunakan kacamata dan kemeja kotak-kotak (kebetulan inget).

 

“Go-jek?”

“Iya, Teh”

Dikasihlah helm dan Saya naik.

 

“Otistanya dimana Teh?”

“Oh, bukan otista A, ke Pasar Baru. Memangnya petunjuknya ke otista ya?”

“Oooh. Iya Teh, alamatnya otista.”

 

Lalu Kami sempat berbincang sebentar. Eh, bukan berbincang sih ya. Dia yang cerita.

Mas-mas itu curhat tentang hujan (yang kebetulan waktu itu sudah masuk musim hujan).

Bukan nyalahin si hujannya sih. Tapi lebih ke nyeritain ada penumpang yang enggak mau kena hujan setetespun dan ada juga yang enggak mau kena panas sedikitpun.

Saya sih tidak menghakimi ya. Tapi kalau kata Saya, enggak mau kena panas mah jangan pake motor atulah (entah ojek atau sejenisnya).

 

Si masnya baik udah mau ngajakin Saya ngobrol.

Kadang ada juga yang memang enggak mau ngobrol sama sekali.

Kita memang orang asing sih.

Sama seperti Saya menggunakan aplikasi ini untuk kedua kalinya, yang kebetulan dihari yang sama untuk perjalanan pulang dari pasar baru.

Selama perjalanan si Masnya cuma tanya alamat yang dituju.

Lalu ketika sampai ditempat yang tidak terkena hujan sama sekali, Dia berkomentar, “Eh, disini mah naha enggak hujan?”

Baru deh Saya mulai basa-basi bahas hujan.

 

Dan sampailah Saya di tempat yang dituju. Walaupun beda tempat tapi masih satu daerahlah.

 

Bedanya Mas-mas Go-jek pertama tadi, lebih ramah, lebih berhati-hati, terus kasih alasan kenapa Dia milih jalan yang itu dibanding jalan lain.

Kalau Mas-mas yang kedua mungkin enggak seramah Mas-mas pertama (enggak basa-basi lah Dia), dan cepat sampai tapi masih tetap merasa nyaman. Maksudnya enggak grasak-grusuk-rusuh-enggakpuguh gitu.

 

Jadi, penilaian pertama Saya menggunakan aplikasi ini,

Menyenangkanlah ya..

 

Hal lain yang selalu Saya ingat di Mas-mas Go-jek pertama adalah,

Mas Go-jeknya habis keramas. Rambutnya wangi bangeeet  =D

 

Bandung, 17 Desember 2015

Salam,

Risma Dwi MW